Psikologi Judi

Alih-alih karena alasan ekonomis, judi lebih tersebabkan oleh alasan lain—kesepian, stres, rasa ingin menang, atau semata-mata karena ketololan.

Jelajahin.com – Judi adalah kenyataan sehari-hari di depan hidung kita. Sedemikian mendarah dagingnya ia, sehingga apabila pemerintah mau mengakuinya, pejabat-pejabatnya akan berkata, “Judi merupakan bagian yang integral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” Atau, bahkan mereka akan menemukan bahwa “judi bukanlah anak haram kebudayaan Nusantara.”

Idiom judi merasuk ke cara kita berbahasa. “Saya sadar tindakan saya penuh dengan pertaruhan nyawa.” Dengan gampang orang bilang, “Saya berani taruhan, dia tidak akan dipanggil KPK.”

Folklor, dan sejarah Indonesia tak lepas dari kisah dan pengaruh perjudian meskipun tidak sampai menganjurkannya apalagi memujanya bak film Hong Kong meninggikan pemain judi sebagai “dewa” perlente Chow Youn-fat, sang God of Gamblers (1989).

Biografi Ken Arok (pendiri Kerajaan Tumapel, leluhur raja-raja Majapahit), bernoda judi, darah, pencurian, dan utang. Judi mewarnai legenda Ciung Wanara di tanah Sunda dan kisah pelbagai kerajaan di Nusantara. Epos Mahabharata yang tersusun lebih dari 2000 tahun lalu dan hidup di masyarakat bersama tradisi perwayangan, menceritakan terusirnya Pandawa ke dalam hutan lewat judi dan muslihat.

Teknologi hanya memfasilitasi niatan dan kebutuhan (untuk berjudi) yang sudah lebih dulu ada.

Umar Kayam, langsung menggamit perjudian (“permainan kartu cina”) di halaman ke-10 dari novel Para Priyayi (1992) yang 308 halaman tebalnya. Meminjam tuturan Lantip, Kayam bercerita: Sesungguhnya permainan kartu yang disebut kesukan oleh para priyayi itu bukanlah perjudian dalam arti besar-besaran. Itu adalah perjudian kecil-kecilan dari priyayi kecil yang membutuhkan hiburan di kala senggang mereka. Tetapi, kekalahan di meja judi, besar atau kecil, tetap kekalahan. Emosi akan menggelegak, frustrasi akan naik di kepala. Segumpal campuran perasaan akan berkumpul jadi satu. Jengkel, penasaran, mangkel, dendam, rasa ingin menang dan ingin menebus kekalahan dan terutama malu.”

Di perbatasan desa tempat tinggal saya, lima kilometer di selatan pabrik gula, seorang mantan wakil rakyat daerah rela menghinakan diri nglemprak di bawah pohon bambu di pinggir Kali Sragi, kucing-kucingan dengan polisi, bermain kartu. Apakah dia ingin memperbaiki nasib sedangkan ia tahu lawan mainnya tidaklah lebih berduit darinya?

Sementara, dalam pandangan kaum tua penggemar togel, segala peristiwa adalah “kode alam”, alamat “rezeki” dari Tuhan. Kalau ada tetangga meninggal, nomor rumah sahibul musibah jadi incaran. Sambil menolong pesepeda motor yang tergelincir ke sawah, orang akan mencatat nomor polisi kendaraan celaka itu, buat dipasang nanti malam. Ban sepeda saya meletus di depan sebuah warung teh, dan segera saja saya ditanya, yang pecah ban ukuran berapa. Anehnya, interogasi mereka itu saya jawab juga: 26. Dan Tuhan kadang mempermainkan “mistikus” kode buntut itu dengan membiarkan mereka jitu menebak angka.

Problem kejiwaan

Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah membolehkan pemerintah daerah memungut pajak atas izin mengadakan perjudian. Ketika melegalkan judi di Jakarta berdasarkan ketentuan darurat ini, Ali Sadikin menegaskan Pemda DKI Jakarta hanya mengesahkan (menarik pajak) judi bagi “bandar Cina”, karena judi dianggap sudah merupakan budaya mereka. Kepada Ramadhan K.H. yang menulis memoarnya, Bang Ali: Demi Jakarta 1966–1977 (1992: 65), Ali berujar, “… hanya orang Cina yang dibolehkan judi… Kalau ada umat Islam yang berjudi, itu bukan salah Gubernur, tetapi keislaman orang itu bobrok. Dan sebagai umat Islam, saya sendiri sama sekali tidak pernah berjudi.” (Bang Ali: Demi Jakarta 1966–1977: 1992, halaman 65).

Sayangnya, dengan (hanya) membentuk Satgas Pemberantasan Perjudian Daring, pemerintah tidak akan menyentuh penyebab asal (root cause) maraknya judi. Butir a dan b konsiderans Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring berturut-turut menyebut “perjudian merupakan kegiatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian finansial, gangguan sosial, dan psikologis yang dapat menimbulkan efek tindak kriminal lanjutan” dan “perjudian daring telah menimbulkan keresahan masyarakat, sehingga perlu segera diambil langkah tegas dan terpadu guna pemberantasannya.

Butir a menampakkan kecenderungan pemerintah untuk melihat persoalan dari sudut pandang hukum dan keuangan. Itulah kenapa yang paling disorot adalah ratusan triliun rupiah transaksi judi daring yang dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sedangkan di butir b, pemerintah seolah berkata, “Judi lain, yang bukan daring, karena belum meresahkan masyarakat, tidak perlu diambil langkah tegas dan terpadu.”

Padahal, alih-alih karena alasan ekonomis, judi lebih tersebabkan oleh alasan lain—kesepian, stres, rasa ingin menang, dan murni karena ketololan. Para bandar tahu ini, dan dengan bantuan teknologi, memanfaatkan kebutuhan jiwa para penjudi itu sebagaimana algoritma media sosial memanfaatkan jerat ganjaran seketika (instant gratification) yang diperoleh penggunanya dari banyaknya “like” dan semacamnya.

Naif bila kita menyangka judi online (daring) merajalela gara-gara teknologi semata. Sebab, teknologi hanya memfasilitasi niatan dan kebutuhan yang sudah lebih dulu ada. Berkaca dari penelitian terhadap anak muda Inggris (Sirola A, Nyrhinen J, Wilska TA, 2021), sepanjang Maret–Juni 2020, judi daring meningkat pesat (hingga 3000 persen atau 30 kali) karena teknologi memberikan solusi bagi penjudi yang ingin tetap berjudi saat pembatasan sosial (lockdown) diberlakukan.

Judi terlalu dalam mengakar untuk dicabut dengan tindakan hukum sesaat. Ia harus dijawab dengan revolusi mental yang sungguhan, saksama dan rampak, dengan melibatkan terutama budayawan, psikolog, dan sosiolog.

 

Agus Budiman
Agus Budiman menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di beberapa majalah nasional, dan pemimpin redaksi majalah perpajakan kenamaan di Indonesia. Feature, esai, opini, dan cerita pendeknya dipublikasikan antara lain di majalah Annida, majalah Ummi, harian Kompas, dan harian The Jakarta Post. Di luar itu, ia bekerja sebagai editor lepas buku fiksi dan nonfiksi dan sebagai penerjemah buku dan laporan tahunan. Salah satu bukunya, Pajak itu Gampang, Loh (2016) dipilih Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, untuk bahan edukasi perpajakan bagi siswa dan mahasiswa. Kini ia menetap di kampung halamannya, Pekalongan.