17 Agustus 2605

Dilihat dari penanggalannya, kita punya tiga versi proklamasi.

Bocah SD menyanyi di depan kelas.

“Enam belas Agustus tahun empat lima. Itul—”

“Hush,” potong Bu Guru, “tujuh belas!”

“Tenang, Bu Guru,” jawab bocah itu. Ia ambil napas, lalu mulai lagi.

“Enam belas Agustus tahun empat lima. Besoknya hari kemerdekaan kita.”

Saya dengar kelakar itu dari seorang penceramah asal Semarang. Dan saya membayangkan Bu Guru itu, setelah lelah mengajar dan kena migrain membereskan pekerjaan administrasi absurd yang biasanya merupakan penjelmaan sabda cemerlang kepada dinas pendidikan di daerahnya, berpikir begini: Kenapa kita tertarik pada hari-H, pada tanggal yang memuncaki segala sesuatu, sambil melupakan prosesnya dan konteks yang melingkupinya, yang sebetulnya kerap lebih krusial, lebih dramatis, dan lebih melelahkan?

Keterpakuan kita kepada hari-H membuat buku teks sejarah penuh dengan tanggal ini dan itu yang bisa bikin gila kalau dihafalkan, tapi tak berdaya dalam memperkaya pengalaman batin. (Karena itulah kita perlu sastra—ssst, tapi ini soal lain untuk kita bahas di kesempatan lain pula).

Dilihat dari cara penanggalannya, saya “menuduh” kita punya tiga versi proklamasi.

Jika bocah tengil di awal tulisan ini merujuk 17 Agustus Tahun ’45 sebagai Hari Kemerdekaan, kenapa risalah ini berjudul “17 Agustus 2605”? Itu hanya trik mengarang tingkat dasar untuk menuntun Anda ke pembicaraan berikut ini.

Naskah proklamasi dikonsep, ditulis tangan, diketik, dan ditandatangani di rumah Laksamana Tadashi Maeda, di Jalan Meiji Dori Nomor 1, Menteng, Jakarta. (Alamat ini kelak menjadi Jalan Imam Bonjol No 1, Jakarta Pusat; rumah Maeda menjadi gedung Museum Perumusan Teks Proklamasi.)

Dilihat dari cara penanggalannya, saya “menuduh” kita punya tiga versi proklamasi.

Pertama, versi tulisan tangan Bung Karno, dengan penanggalan “17-8-’05”. Kedua, versi ketikan Sayuti Melik, sekaligus yang dibaca pada tanggal 17 Agustus 1945/17 Agustus 2605 di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56, dengan penanggalan “hari 17 boelan 8 tahoen 05.” Dan ketiga, versi ketikan Sayuti Melik yang dibaca ulang Presiden Sukarno dan direkam RRI di Jakarta pada tahun 1951—tapi dengan penanggalan mutakhir: “17 Agustus 1945”.

Angka tahun ’05 dan 05 di atas adalah singkatan untuk 2605, yakni angka tahun menurut kalender Kaisar Jimmu (711 SM–585 SM), kaisar pertama Jepang yang hari penobatannya (di tahun 660 SM) ditetapkan sebagai tahun 1 bulan 1 hari 1.

Oke, tapi mengapa yang berlaku kalender Jepang? Semau-maunya merekalah. Kan mereka yang sedang mendapat giliran berkuasa atas negeri bekas jajahan Hindia Belanda ini. Andai yang menginvasi kita saat itu Republik Tiongkok, mungkin penulisan tanggal di teks proklamasi akan ikut kalender Tiongkok. (Kenyataannya, Republik Tiongkok, pada kurun 1942–1945 juga sedang diinvasi Jepang).

Dengan memberlakukan kalender Jimmu di wilayah taklukkannya, Jepang menunjukkan kebanggaan dan kebesarannya: Kami bangsa perkasa, kekaisaran kami berdiri sejak 660 SM, jauh sebelum dimulainya kalender Gregorian yang kalian pakai. Kami telah berjaya 600 tahun sebelum Yesus diutus, 1000 tahun sebelum Muhammad menjadi rasul.

Itu yang menjelaskan kenapa tahun 1945 adalah 2605 dalam kalender Jepang (1945 ditambah 660).

(Kelak, penanggalan ala Jepang pada teks proklamasi ini membuat Laksamana Maeda turut kena getahnya. Tentara Sekutu yang menginterogasinya—menyiksanya—menuduh proklamasi itu sebagai rekayasa Jepang belaka.)

Berita proklamasi menyebar ke Jawa, Sumatera, Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga ke Papua (dulu: Irian Barat), melalui telegram, radio, koran, pamflet, mulut ke mulut, hingga khotbah Jumat. Sejumlah daerah baru menerimanya satu bulan setelahnya. Kabar ini juga tersiar ke luar negeri.

Namun, bagaimana Bung Karno membaca teksnya, hanya terabadikan dalam foto Frans Mendur dan Alex Mendur. Tidak ada yang merekam suara Bung Karno saat itu, apalagi mengambil videonya (Jangan tanya kenapa). Namun, bisa kita duga, Bung Karno membaca naskah di tangannya sebagaimana adanya, seperti yang telah terketik dan telah beliau dan Hatta tanda tangani:

P R O K L A M A S I

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta.

Saya menduga kuat Bung Karno mengucapkannya, “Jakarta, hari tujuh belas, bulan delapan, tahun nol lima” dan bukan, “Jakarta, tujuh belas Agustus seribu sembilan ratus empat puluh lima” meskipun yang terakhir ini yang paling populer sekarang.

Begitu populernya cara membaca ini, sehingga dalam upacara dan lomba pembacaan teks proklamasi, pembacanya harus mengkhianati teks proklamasi yang sedang dipegangnya. Teks proklamasi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05” atau “Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05” akan dibaca “Jakarta, 17 Agustus 1945.”

Tapi, mungkin itu gara-gara Bung Karno (dan Joesoef Ronodipoero) juga, sih.

Pada tahun 1951, Joesoef, salah satu pendiri RRI sekaligus pemuda yang berjasa menyebarkan Proklamasi Kemerdekaan ke seluruh dunia lewat radio, membujuk Presiden Sukarno untuk membacakan lagi naskah proklamasi itu demi kepentingan generasi mendatang. Awalnya, sang Proklamator menolak keras: “Proklamasi itu hanya satu kali!”

Setelah suara Presiden Sukarno direkam di studio RRI di Jakarta, master rekaman ini diperbanyak di studio Lokananta, Solo, lalu digandakan dan disebar ke seluruh Indonesia. Dan kini kita, generasi mendatang itu, menyangkanya sebagai rekaman dari tahun 1945.

Terima kasih, Pak Joesoef. Tapi, kenapa pengucapan penanggalan dalam rekaman suara Bung Karno yang ikonik ini—yang antara lain menjadi pembuka film Serangan Fajar (1982), yang dulu diputar di balai-balai desa saat agustusan—berbeda dengan teks yang beliau baca di tahun 1945?

Dalam rekaman RRI tahun 1951, terdengar suara Bung Karno:

Proklamasi

Kami/bangsa Indonesia/dengan ini menyataken/kemerdekaan Indonesia.//Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan/dan lain-lain,/diselenggaraken/dengan cara saksama/dan dalam tempo/yang sesingkat-singkatnya.//Jakarta, tujuh belas Agustus/seribu sembilan ratus ampat puluh lima//atas nama bangsa Indonesia//Sukarno/Hatta.

Di rekaman ini, Bung Karno yang sudah menjadi Presiden Sukarno membaca teks proklamasi bertahun Masehi, bukan berpenanggalan Jepang seperti pada teks autentiknya.

Lagi-lagi, ada informasi sejarah (berlakunya kalender Jepang berikut latar belakangnya) yang turut tenggelam—kali ini, ditenggelamkan oleh pelakunya sendiri.

Agus Budiman
Agus Budiman menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di beberapa majalah nasional, dan pemimpin redaksi majalah perpajakan kenamaan di Indonesia. Feature, esai, opini, dan cerita pendeknya dipublikasikan antara lain di majalah Annida, majalah Ummi, harian Kompas, dan harian The Jakarta Post. Di luar itu, ia bekerja sebagai editor lepas buku fiksi dan nonfiksi dan sebagai penerjemah buku dan laporan tahunan. Salah satu bukunya, Pajak itu Gampang, Loh (2016) dipilih Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, untuk bahan edukasi perpajakan bagi siswa dan mahasiswa. Kini ia menetap di kampung halamannya, Pekalongan.