Jelajahin.com, Jakarta – Kalau Anda harus pergi ke warung, ke sekolah, ke kantor, atau ke kuburan, tapi Anda tidak punya sepeda motor atau mobil, dan Anda juga malas berlari karena bikin keringatan, maka tersisalah sepeda untuk Anda kayuh hingga ke tujuan. Aktivitas Anda menaiki kereta angin itu oleh orang Jawa disebut ngepit ‘naik sepeda’. Anda menggenjot sepeda karena tidak ada pilihan lain.
Namun kalau Anda bosan, bertengkar dengan saudara atau mertua, atau semata kurang kerjaan, lantas Anda genjot sepeda Anda keliling kota, padahal Anda punya sepeda motor dan sedan, kemungkinan besar Anda sedang pit-pitan atawa iseng bersepeda. Anda sepedaan untuk mengambil jarak dari perkara dan berharap tersandung ilham di tikungan.
Pit-pitan memerlukan jalan yang memadai dan justifikasi. Untuk sepedaan di tengah kampung petani, Anda harus rela dicap mencari-cari kesibukan untuk menghindari pekerjaan yang nyata—mencangkul, mengairi, memupuk, mengusir hama.
Dulu, pemandangan orang naik sepeda dapat bergiliran dengan sesi orang dinaiki sepeda. Di musim penghujan, warga desa memanggul sepedanya, mempraktikkan pepatah di mana bumi becek dipijak, di situ sepeda ontel dijunjung.
Tapi kini, sejak setahun belakangan, setelah jalan desa jadi lempeng beton selebar empat meter, kendaraan berlalu-lalang kapan saja. Anak-anak, remaja, dewasa, hingga kakek-nenek, balapan mengegas mobil dan motor, mencemaskan keluarga yang punya anak balita yang hobi keluyuran.
Sepeda tak mau ketinggalan. Berkat pandemi Covid dengan pembatasan sosialnya, gowes jadi tren besar di Jakarta dan merembet ke kecamatan tempat saya tinggal. Tiap pagi, lebih-lebih di hari Sabtu dan Ahad, ada saja rombongan pesepeda. Memutar lagu kesayangan di speaker aktif yang terikat ke batang sepeda, mereka melindas jalan desa dan jalan kabupaten, lalu berhenti di warung poci: memesan teh panas, nasi, sayur lodeh, megono, tahu-tempe, kerupuk, dan telur asin.
Seusai pandemi, gowes mengendur. Orang yang latah bersepeda sudah berguguran, menyisakan hanya yang militan. Apalagi, kini sepeda listrik unjuk gigi, siap menggeser sepeda konvensional karena ia hanya perlu aki, bukan genjotan kaki. Kendaraan yang mirip belalang sembah itu mulai jadi favorit emak-emak, melengkapi wabah muka glowing yang sudah hadir duluan.
Kini sepeda listrik unjuk gigi, siap menggeser sepeda konvensional karena ia hanya perlu aki, bukan genjotan kaki.
Dan ia seperti siluman. Kau hanya menyadari kehadirannya bila ia datang dari depanmu. Ia bukan RX King tunggangan jagoan kampung, yang meraung-raung tanpa tujuan. Sepeda listrik melesat senyap dan tanpa peringatan selain bunyi ban yang menggesek jalanan.
Apakah mereka bersepeda listrik untuk mendukung program konservasi energi demi kelestarian alam dan tercapainya karbon netral 2060? Bah, binatang apa pula itu konservasi energi? Kalau mau hemat energi dan ramah lingkungan, kenapa tidak pakai sepeda kumbang, pit wadon, atau pit jengki saja sekalian?
Apa boleh buat, sepeda yang meronce kedekatan lintas generasi itu tersingkir dari arena kebutuhan ke klangenan. Padahal, ia menstempel keakraban antarteman sebaya. Bocah-bocah bersepeda bersama, bapak-bapak bersepeda beriringan. Dengan bersepeda, kakek dan nenek bernostalgia.
Padahal, sepeda memungkinkan orang menolong anak sekolah memasang kembali rantai sepedanya yang selip dalam perjalanan. Ia memberi peluang ayah untuk ngos-ngosan mengawal anaknya belajar naik sepeda. Ia menyediakan sang ibu kesempatan mendidik, dengan mengendarai lagu Pak Kasur (Soerjono): “Kring, kring, kring, ada sepeda/sepedaku roda tiga/kudapat dari ayah/karena rajin belajar”.
Padahal, sepeda melambangkan kemesraan dengan pasangan. Foto Presiden Sukarno berpakaian formal bersepeda memboncengkan Ibu Negara hampir selalu menghias artikel atau buku tentang sejoli itu. Begitu bagusnya momen itu sehingga orang penasaran dipotret di mana mereka. (Spoiler: gambar itu diambil di Uttar Pradesh, India, tahun 1950. Saat ban mobil yang ditumpangi Sukarno dan Fatmawati kempes dalam perjalanan ke Taj Mahal, si Bung mendekati salah seorang warga yang berjejer menyambutnya, pinjam sepeda).
Dan bagaimana orang akan melupakan adegan Paul Newman mengangkut Katharine Ross di setang sepeda (bukan di boncengan ala Bung Karno dan Bu Fat) sambil riang gembira menggigit apel merah, mengitari tegalan rumput bersapi, dan berpayung lagu “Raindrop Keeps Fallin’ on my Head”? Entah karena lagunya, entah karena sepeda ontelnya, sehingga adegan singkat yang ditambahkan belakangan ke film Butch Cassidy and the Sundance Kid itu—yang melambungkan nama Robert Redford—terus terkenang. Yang jelas, adegan itu akan hambar andai sepeda itu diganti kuda, sepeda motor, apalagi sepeda listrik.
Salah satu produsen kendaraan asal Tiongkok, yang telah membangun pabriknya di Semarang dan mulai menjual produknya sejak 2018, melaporkan bahwa mereka hendak memproduksi 400 ribu hingga 500 ribu unit sepeda listrik per tahun. Perusahaan itu juga bertekad membuat sepeda listrik yang “ramah lingkungan, hemat energi, dan nyaman” nge-tren di kalangan milenial (orang yang lahir di tahun 1980-an hingga 1990-an).
Agen penjualan resmi sepeda ini tersebar di pusat keramaian. Bahkan, toko yang tidak punya sangkut paut dengan sepeda, seperti toko mebel dan toko pakaian, ikut menawarkannya. Sebuah toko kosmetik di kota kecamatan juga turut memajangnya, mengalunginya dengan karton bertanda “DIJUAL”. Tampaknya, pemilik toko percaya bahwa pelanggan obat cantik di tokonya adalah sekaligus peminat potensial buat belalang sembah yang mematung di terasnya.
Baca Juga: Hikayat Sepeda dan Jenis Kelaminnya
Kita disuruh berhemat: jangan seperti John Denver yang “leaving on a jet plane” dan tidak tahu kapan pulangnya. Namun, di sisi lain kita dianjurkan boros listrik. Kenapa kita tidak pilih yang lebih merdeka dan eco-friendly, yang terungkap dalam lengking vokal Freddie Mercury: “I want to ride my bycicle/I want to ride it where I like”?
Ikuti juga info kuliner dan wisata Jelajahin.com di TikTok.
Balas
View Comments