Aroma Perjuangan di Sekilo Kopi

Berawal dari jualan satu kilogram kopi, kini ia menjadi pengusaha yang mampu menembus pasar Eropa dan Amerika

Eni Wartuti diapit dua pengusaha asal Timur Tengah yang selalu menerima pasokan kopi dari Eni/Foto: Istimewa

Jelajahin.com – Eni Wartuti tak sempat merasakan indahnya menghabiskan masa sweet seventeen bersama orang-orang tersayang layaknya remaja lain. Usianya baru genap 17 tahun saat ia harus meninggalkan kampung halamannya. Pada usia belia, perempuan asli Kebumen, Jawa Tengah ini terpaksa menjadi pekerja migran demi meringankan beban ekonomi keluarganya. Ia tak ingin adik-adiknya juga putus sekolah sepertinya.

Sulitnya ekonomi memang membuat Eni tak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ia harus puas hanya mengantongi ijazah SMP yang untuk bisa membawanya pulang pun lebih dahulu harus menjadi buruh di Kota Bandung.

Setelah bisa menebus ijazah yang ditahan sekolah karena administrasi, Eni memutuskan pergi ke Arab Saudi melalui perusahaan jasa penyalur tenaga kerja Indonesia. Kala itu tahun 1998, tepat ketika dunia tengah dilanda krisis moneter 1998. Di sana, Eni bekerja selama dua tahun, lalu kembali ke tanah air. Beberapa bulan tinggal di kampung halaman, perempuan tomboi kelahiran 27 Juni 1981 ini memutuskan untuk kembali bekerja di luar negeri. Kali ini ia mencoba peruntungan di Taiwan.

Dua tahun kemudian ia kembali ke Indonesia. Sama seperti sebelumnya, ia tidak betah tinggal berlama-lama di negeri sendiri. Akhirnya pada 2003, Eni merantau ke Hong Kong. Selama tinggal di Negeri Beton inilah cakrawala pandang Eni mulai berubah. Kultur masyarakat Hong Kong yang menjunjung tinggi kedisiplinan, kerja keras, dan sangat menghargai waktu itu akhirnya memengaruhi etos kerja Eni.

Sampai kapan pun, merantau, ya, akan begitu-begitu saja. Dari satu negara ke negara lainnya, sama saja. Saya jadi berpikir, kapan punya usaha sambil membangun negeri sendiri?

Di sela-sela bekerja, Eni mulai aktif bersosialisasi dengan pekerja migran Indonesia lainnya. Ia juga ikut berorganisasi dan mulai mengikuti seminar dan pelatihan pengembangan diri di Hong Kong. Di sana pulalah akhirnya jiwa wirausaha Eni mulai muncul. Saat libur bekerja Eni mulai berjualan produk hasil industri kreatif asal Indonesia, seperti pakaian batik, tas kulit, dan kerajinan lainnya.

“Saya mengambil barang dari Indonesia. Sampai Hong Kong saya jual dengan harga bisa empat kali lipat. Hanya sehari jualan saja—hari Minggu (libur kerja) saya bisa mengantongi omzet 10-20 juta rupiah,” tutur Eni kepada Jelajahin.com, Sabtu (2/5).

Tahun demi tahun, usaha perempuan yang gemar olahraga bela diri ini pun semakin maju pesat. Ia mulai berpikir untuk membangun usaha di Indonesia. Apalagi saat itu modal materi, jaringan dan pengalaman yang ia miliki selama berjualan di Hong Kong dirasa sudah cukup untuk membuka usaha di tanah air. Pada 2014, Eni memutuskan untuk mengakhiri petualangannya di negeri orang. Ia pulang dengan tekad bulat, ingin mengawali usaha di negeri sendiri.

“Sampai kapan pun, merantau, ya, akan begitu-begitu saja. Dari satu negara ke negara lainnya, sama saja. Saya jadi berpikir, kapan punya usaha sambil membangun negeri sendiri?” kata Eni.

Bangkrut

Sampai di tanah air, Eni melanjutkan bisnis seperti yang pernah dilakoninya di Hong Kong, tetapi lebih fokus ke fesyen. Mengambil barang dari beberapa daerah di Indonesia kemudian mengirimnya ke Hong Kong. Ia juga memanfaatkan jaringan yang telah dibangun di Hong Kong sebelumnya. Ia juga memanfaatkan media sosial yang ada untuk berjualan secara daring. Selain fesyen, Eni juga merambah usaha jasa ekspedisi untuk pengiriman barang ke luar negeri.

Untuk mengembangkan bisnisnya, Eni pun pindah ke Bandung. Di Kota Kembang itu ia mulai merambah usaha di bidang properti dan sempat jalan dua tahun. Namun, malang tak dapat ditolak. Alih-alih berhasil, bisnis baru yang ia tekuni ini justru membuat Eni jatuh terpuruk. Uang yang susah payah ia kumpulkan dari hasil usaha yang dilakoninya pun ludes tanpa sisa.

“Saya sempat menjalankan bisnis properti tetapi, akhirnya bangkrut, semua habis. Saya harus mulai dari nol, modal minus,” ujar pemegang sabuk hitam Taekwondo yang hobi traveling ini.

Saat ditanya apakah kebangkrutan itu karena ditipu rekan bisnisnya, Eni tak menampik, tapi juga tak mengiyakan. Ia hanya tersenyum legawa. “Mungkin karena saya belum menguasai ilmunya bisnis properti,” tuturnya. “Tetapi, saya jadi semakin tahu betapa pentingnya menguasai ilmu sebelum berbisnis,” imbuhnya.

Sekilo kopi

Kebangkrutan itu tak membuat Eni putus asa. Ia yakin, suatu hari nanti akan bisa bangkit lagi, meski modal di kantong sudah ludes dan harus memulai dari nol. Ia yakin, uang bukan modal utama mencapai kesuksesan. Jika dianalogikan tubuh, bagi Eni, ilmu adalah kaki, sedangkan uang hanyalah ibarat sandal—modal sekunder untuk menggapai keberhasilan.

“Ilmu itu ibarat kaki kita. Orang yang memiliki sandal tetapi tidak memiliki kaki, maka dia tidak bisa berjalan ke mana-mana dengan bebas. Namun orang yang memiliki kaki, walaupun tidak memiliki sandal, dia akan mampu berjalan ke mana saja.”

Dari Bandung, Eni hijrah ke Jakarta. Di Jakarta ia mencari tempat kos dan belum punya tujuan yang jelas ingin memulai usaha apa. Belum lama tinggal di Jakarta, ia terkena musibah lagi.

“Saya kemalingan. Uang ludes, laptop dan HP saya pun ikut hilang. Nangis darah pun enggak ada yang tahu. Saya hanya bisa berdoa, ‘Ya Tuhan, kalau memang masih ada ujian terberat yang harus saya jalani, segerakanlah agar nantinya tinggal kesuksesan yang aku temui,’” tutur Eni.

Dalam ketidakjelasan itu, Eni dihubungi oleh Ade Suryana, ayah angkatnya yang tinggal di Ciparay, Kabupaten Bandung. Ade adalah petani kopi sekaligus pemroses kopi profesional sejak 1994.

Pemerintah harus membantu UKM dengan cara membeli produk-produk mereka, bukan membeli produk perusahaan-perusahaan besar.

Singkat cerita, Eni diminta tinggal di Bandung dan mempelajari seluk beluk kopi dari hulu hingga hilir. Eni tak punya pilihan kecuali menerima peluang itu, meski ia mengaku sama sekali tak tahu tentang kopi.

“Awalnya saya bukan pencinta kopi. Saya tidak mengonsumsi kopi. Namun, di sana saya belajar banyak tentang kopi. Mulai dari pemetikan, pemrosesan sampai menjadi bubuk, saya pelajari totalitas,” kisah Eni.

Setelah cukup memahami kopi, akhir tahun 2016, Eni pun merintis usaha kopi dengan merek Gandasari Coffee. Rumah produksinya ada di Bekasi dan melibatkan tenaga kerja setempat. Eni mengaku, saat mengawali bisnis barunya itu hanya bermodal satu kilogram kopi. Berkat keuletannya memasarkan produknya dan membangun jaringan, perlahan-lahan ia berhasil bangkit. Lama-lama ia mulai bisa membeli peralatan penunjang produksi.

Dalam waktu tiga tahun, usahanya pun semakin berkembang. Kelebihan produk kopi racikan Eni terletak pada cara pemrosesannya yang mempertahankan cara tradisional. Berbeda dengan produsen kopi pada umumnya, ia melakukan penyangraian (roasting) dengan menggunakan gerabah. Cara ini untuk mempertahankan kualitas dan cita rasa kopi.

“Kopi yang diolah menggunakan gerabah lebih pulen dan memiliki aroma yang lebih khas,” tutur perempuan yang sering mengisi seminar kewirausahaan ini.

Selain alasan kualitas, cara itu dipilih Eni untuk melestarikan tradisi mengolah kopi yang sudah dilakukan turun-temurun sejak dulu di Indonesia.

Dengan mengusung konsep palugada—apa lu mau gua ada—produk kopi racikan Eni kini sudah mencapai puluhan ton kopi per bulan. Varian produknya pun beragam. Mulai dari kopi rempah, hingga kosmetik yang berbahan baku kopi. Misalnya produk yang diberi label Kopinang, yakni campuran kopi robusta dan arabika dipadu dengan jintan hitam dan pinang muda. Produk ini dijual ke Aljazair, Maroko, dan Arab Saudi. Selain itu, Eni juga mengolah kulit kopi menjadi cocktail, green coffee, parfum kopi, masker wajah dan lulur mandi dari kopi dicampur bahan lain seperti mint, susu, rosemary.

Tahun lalu, Eni juga sudah menandatangani perjanjian kerja sama dengan pembeli dari Polandia untuk pembelian beragam produk kopi dan turunannya. Sebagian produk Gandasari Coffe juga sudah mulai masuk ke daratan Amerika, seperti Brasil dan kawasan Asia Timur seperti Jepang.

Bertahan tengah wabah

Pada Maret lalu, bekerja sama degan investor Arab Saudi, Eni melebarkan sayapnya dengan membuka kafe dan restoran di daerah Cawang, Jakarta dengan nama Gandasari Cafe & Resto. Sayangnya, baru beberapa saat diresmikan, restoran dan kafe itu harus tutup sementara akibat pageblug Covid-19 yang melanda negeri ini. Eni pun terpaksa merumahkan karyawannya. Wabah ini juga sangat memengaruhi bisnis kopi yang sudah eksis.

Eni mengaku, omzetnya turun hingga 80 persen. Rencana ekspor green coffee ke Arab Saudi Mei mendatang pun terancam tertunda. Namun, ia tak ingin menyerah dengan keadaan. Berbagai cara terus ia lakukan agar bisnisnya tetap bertahan. Ia berharap, pemerintah benar-benar memiliki kesungguhan dalam membantu usaha kecil menengah (UKM). Caranya dengan membuat kebijakan membeli produk-produk UKM agar mereka bisa bertahan di tengah masa sulit ini.

“Pemerintah harus membantu UKM dengan cara membeli produk-produk mereka, bukan membeli produk perusahaan-perusahaan besar.”

Eni mengaku sangat berterima kasih kepada Pemerintah Kota Bekasi yang selama ini telah menunjukkan komitmen mereka untuk membantu UKM dengan cara membeli produk-produk mereka.

Setelah sukses ekspor ke Jepang , Korea, Malaysia, dan beberapa negara benua Afrika, seperti Mozambik, Nigeria, Senegal, Kamerun, kini Eni sedang mencoba menembus 18 negara Timur Tengah yang menurutnya sangat menggemari kopi rempah Gandasari Kopi.

Hanjarwadi W
W Hanjarwadi lama berprofesi sebagai jurnalis di majalah nasional serta bekerja sebagai penulis lepas. Saat ini banyak menghabiskan waktu sebagai travel reviewer dan konten kreator.