Jelajahin.com – Kalau Anda singgah di Jawa Timur dan Jawa Tengah dan karena suatu hal Anda harus terjaga menjelang pukul empat—baik lantaran begadang, kebelet pipis, maupun karena ingin salat tahajud—lazimnya Anda akan mendengar lantunan Selawat Tarhim dari corong pelantam suara masjid dan musala.
Dan biasanya, kalau marbut masjid tidak telat bangun, ia akan memutar rekaman Syekh Al-Hussary membaca Surah Al-Hujurat dalam maqam bayati, sebelum menyambungnya dengan kumandang “Ash-shalatu was-salamu ‘alaik (salawat dan salam kepadamu)”. ‘Alaik (kepadamu) di sini merujuk kepada Nabi Muhammad saw, sebagaimana terungkap pada kalimat lanjutannya: “Yaa imaamal mujaahidiin/Yaa Rasuulallah.” (Duhai, imam para pejuang/wahai, Rasulullah).”
Lalu, tergambarlah keagungan adegan ketika Rasulullah mengimami seluruh penghuni langit untuk salat di belakang beliau, menyembah Allah (“wa taqaddamta lish-shalaati fashallaa kulu man fis-samaai wa antal imaamu”).
Di beberapa tempat, kadang ada yang memaksakan diri meniru selawat tarhim ini secara langsung (live) di pengeras suara masjid, alih-alih memutar kaset atau memutar audio di perangkat seluler yang terhubung lewat bluetooth ke amplifier. Alhasil, tak jarang mereka gagal menduplikasi lantunan selawat ini, dan buyarlah kesyahduan yang kita harapkan.
Bila kini aneka format audio Al-Quran begitu melimpah dan siap unduh di jagat maya, seiring kemunculan qari kontemporer dari pelbagai negara, itu tak lepas dari keyakinan Syekh Al-Hussary bahwa Al-Quran harus dijaga dan disebarkan dengan memanfaatkan teknologi.
Qari prominen kita, Muammar Zainal Asyikin atau lebih kerap ditulis Muammar ZA (lahir di Pemalang, 1954), pernah merekam selawat ini dengan maqam yang sama (maqam rast), tetapi dengan gaya khasnya yang melengking lembut. Cak Nun, atau Emha Ainun Nadjib yang kini lebih kerap disapa Mbah Nun, dalam beberapa forumnya juga melantunkan salawat ini dengan penghayatan dan akurasi nada yang persis sama dengan Syekh Al-Hussary. Namun kedua versi ini tidaklah sampai menggeser audio rekaman Selawat Tarhim yang dibawakan oleh si empunya yang pertama. Lagi pula, memang keduanya tak bermaksud menggantikan suara Syekh Al-Hussary.
Baca juga: Menyibak Keanggunan Istana Maimun
Bila kini aneka format audio Al-Quran begitu melimpah dan siap unduh di jagat maya, seiring kemunculan qari kontemporer dari pelbagai negara, itu tak lepas dari keyakinan Syekh Al-Hussary bahwa Al-Quran harus dijaga dan disebarkan dengan memanfaatkan teknologi, sebuah penyikapan yang tidak segera menjadi pilihan dunia Muslim kala itu.
Qari lain memang telah lebih dulu merekam versi mereka, tetapi hanya mencakup sebagian teks Al-Quran. Syekh Al-Hussary-lah qari pertama merekam pembacaan Al-Quran 30 juz penuh, dengan riwayat Hafs (1961)—riwayat yang juga paling populer di Indonesia, lantas riwayat Warsh (1964), dan riwayat Qalun dan Duri (1968). Di luar itu, sang syekh juga merekam bacaan bergaya mujawwad (versi lambat, kerap dilombakan dalam MTQ) dan gaya muallim (untuk pengajaran).
Kembali ke Selawat Tarhim. Syahdan, setelah direkam pada tahun 1959 di studio Lokananta, Solo, keping rekaman berisi Selawat Tarhim Syekh Hussary segera mengudara melalui RRI (Radio Republik Indonesia) tiap menjelang magrib dan subuh, menyongsong azan yang juga dikumandangkan oleh sang syekh. Lantaran rutin diputar, tarhim dan azan Syekh Al-Hussary ini sempat menjadi ciri khas RRI. Langit subuh di pelosok negeri kita pun dihiasi selawat ini, karena masjid dan musala juga memopulerkannya.
Di bulan Ramadan, selawat berdurasi 5 menit 13 detik ini diputar berulang-ulang, menunggu saat berbuka. Kini, di sejumlah wilayah di Kota Pekalongan, Jawa Tengah, misalnya, tarhim ini bahkan diperdengarkan menjelang zuhur juga, bukan cuma kala magrib dan subuh.
Kunjungilah kerabat dan sahabat Anda di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hindari tiba di tujuan menjelang subuh hari, saat selawat ini menalak kesunyian akhir malam. Sebab, sekali mendengarnya, Anda tak akan mampu melupakannya.
Balas
View Comments