Hikayat Sepeda dan Jenis Kelaminnya

Inggris, Belanda, Jepang, dan Tiongkok boleh saja membikin sepeda, tapi kitalah pemberi jenis kelaminnya.

Ilustrasi Sepeda Tua/Foto: Istock- Tri Hariyanto

Jelajahin.com – Di Medan, kendaraan bermesin beroda dua disebut kereta; kendaraan bermesin yang beroda empat disebut motor. Sedangkan sepeda sebagaimana yang tergambar di benak penduduk kota lain, oleh orang Medan disebut kereta angin.

Setidaknya begitulah menurut yang saya ingat dari tuturan Amiruddin Daulay, sahabat lama dari Pematangsiantar, Sumatera Utara.

Dengan begitu, berita berikut ini—meskipun ditulis dengan lebay—bisa kita bayangkan kemungkinannya:

“Pagi ini, Sabtu, (3/8/2024), sebuah motor yang melaju kencang menyeruduk sebuah kereta yang sedang parkir di pinggir jalan sehingga kereta malang itu tercampak ke selokan.”

Andai pencipta sepeda atau kereta angin adalah orang Jawa, entah mesin yang mengabdi pada genjotan manusia itu akan dinamai apa—tapi yang pasti bukan pit. Sebab, pit adalah kata yang asing.

Kendaraan roda dua itu masuk ke Hindia Belanda (Indonesia) lewat wong Landa yang memperkenalkannya sebagai fiets. Maka, tersebarlah ia di tanah Jawa tapi dengan nama yang sudah ditaklukkan oleh lidah pribumi menjadi pit. Lantas, kenapa si pit yang populer dalam bahasa Jawa ini menjadi sepeda dalam bahasa Indonesia? Mungkin karena bahasa Indonesia memungutnya dari bahasa Perancis vélocipède.

Di Indonesia, yankee menjelma kata yang mereprentasikan semangat atau tren baru, yang beda dari yang umum, yang tidak terikat kepada tradisi lama terutama yang berbau Belanda (kolonial).

Sepeda kukuh, dengan rangka atas (top tube) terhubung dari bawah sadel hingga ke bawah setang, sehingga untuk mengendarainya orang harus mengangkat kakinya seperti mau melompati pagar tetangga, disebut pit lanang, ‘sepeda jantan’. Akrobat seperti itu memang memerlukan keleluasaan yang diberikan oleh celana panjang atau celana komprang yang lazim dikenakan kaum lelaki. Kendaraan favorit kaum Adam ini lazim pula disebut sepeda ontel, pit kebo, dan sepeda kumbang.

Sedangkan sepeda dengan rangka atas melengkung ke bawah sehingga bisa dikuasai dengan gampang oleh kaum Hawa yang pakai rok panjang sekalipun, disebut pit wadon, ‘sepeda betina. Orang kampung juga menyebutnya sebagai pit onta, mungkin karena bentuk rangkanya tadi.

Beberapa merek pit wadon dilengkapi dengan pelindung di samping kiri-kanan roda, untuk memastikan rok panjang atau sarung penunggangnya tidak tersangkut dan terlilit jari-jari roda. Rantainya juga terlindung di balik bilik pipih yang disebut katengkas. (Belanda: kettingkastketting ‘rantai’ dan kast ‘lemari’).

Pit wadon ini masih tetap populer di Belanda. Di sana, mereka disebut omafiets ‘sepeda nenek’.

Namun, seiring waktu, sebutan—atau katakanlah pengklasifikasian—pit lanang dan pit wadon di atas ternyata tidak memadai lagi. Sebab, di tangan para kreator dan pengusaha, sepeda jantan dan betina itu segera beranak-pinak menjadi sepeda jengki, sepeda mini, sepeda BMX, sepeda balap, sepeda gunung, sepeda lipat, sepeda hibrida, dan terakhir, sepeda listrik.

Yang penting untuk diulas di sini barangkali sepeda jengki. Alkisah, pada tahun 1958, Phoenix Company. Ltd. atau Phoenix Bicycles, didirikan di Shanghai. Dengan dukungan pemerintah Tiongkok, pabrik ini mengekspor sepeda ke pelbagai negara, antara lain ke Indonesia.

Sepeda Phoenix segera menjadi favorit di tanah air karena harganya tidak semahal sepeda Eropa dan ukurannya lebih pas untuk postur tubuh orang Indonesia. Ia pantas dipakai kaum pria, bagus juga buat kaum wanita. Ibarat baju, ia adalah baju yang unisex. Ia tidak cocok disebut pit lanang, tidak tepat pula dinamai pit wadon. Dan ia juga terlalu besar untuk dipanggil sepeda mini.

Produk baru inilah yang disebut sepeda jengki. Kebetulan, masuknya sepeda dari Negeri Tirai Bambu itu bersamaan dengan bertiupnya sentimen untuk meninggalkan produk yang beraroma kolonial. Jengki terambil dari kata yankee, sebutan untuk orang atau tentara Amerika Serikat yang pada tahun 1960-an mendukung Republik Vietnam atau Vietnam Selatan, sebuah negara antikomunis yang hanya mampu eksis selama 20 tahun (1955–1975). Mereka, para yankee ini, membawa budaya baru ke Republik Vietnam.

Di Indonesia, yankee menjelma kata yang mereprentasikan semangat atau tren baru, yang beda dari yang umum, yang tidak terikat kepada tradisi lama terutama yang berbau Belanda (kolonial). Itulah kenapa muncul arsitektur jengki, lemari jengki, baju jengki, celana jengki (celana panjang ketat dan sangat sempit di bagian bawahnya), dan seterusnya. Pendeknya, semua produk model baru, diberi embel-embel jengki.

Tampaknya, kita memang tak perlu takjub dengan penganugerahan jenis kelamin kepada sepeda ini. Bukankah bahasa Arab, bahasa Perancis, dan bahasa Inggris, untuk menyebut tiga saja, memakai konsep gender? Dalam bahasa Arab dan Perancis, tiap kata benda harus tegas ia feminin atau maskulin.

Dalam bahasa Inggris, moon, Earth, dan ship, umpamanya, masih dipertahankan memakai kata ganti she alih-alih it. Sebuah negara (country) juga diberi perlakuan ini, yakni memakai kata ganti she. (Mungkin sebanding dengan sebutan Ibu Pertiwi di sini: sebuah benda atau konsep abstrak yang kita “perempuankan”.)

Omong-omong, kalau sepeda disebut kereta angin, sepeda motor disebut kereta, mobil disebut motor, apa sebutan orang Medan buat sepeda listrik, motor listrik, dan mobil listrik? Ah, pusing awak. Coba awak tanyakan saja pada si Sejar Panjaitan.

Agus Budiman
Agus Budiman menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di beberapa majalah nasional, dan pemimpin redaksi majalah perpajakan kenamaan di Indonesia. Feature, esai, opini, dan cerita pendeknya dipublikasikan antara lain di majalah Annida, majalah Ummi, harian Kompas, dan harian The Jakarta Post. Di luar itu, ia bekerja sebagai editor lepas buku fiksi dan nonfiksi dan sebagai penerjemah buku dan laporan tahunan. Salah satu bukunya, Pajak itu Gampang, Loh (2016) dipilih Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, untuk bahan edukasi perpajakan bagi siswa dan mahasiswa. Kini ia menetap di kampung halamannya, Pekalongan.