Jelajahin.com – Dulu, mendiang kakek saya punya sepeda klasik merek Locomotief bikinan Belanda, dambaan priyayi desa.
Waktu melepasnya, si penjual berpesan kepada Kakek, “Ambillah sepeda ini, untuk sampeyan jual kembali saat harga cocok. Jangan sampeyan beli dengan niat untuk memilikinya.”
Bagi Kakek, itu adalah amanat yang ringan. Sebab, sebagai blantik, embah saya itu memang hanya ingin memamerkan sepeda itu sebentar saja untuk menjaring calon pembeli. Selepas dari tangan Kakek, sepeda itu rajin berganti pemilik.
Entah mengapa, pemilik baru sepeda berlogo kepala kereta api ini akan gelisah. Ada yang segera melegonya karena sejak sepeda itu mendekam di rumahnya, ia kena stroke sehingga badan lumpuh sebelah (dulu disebut mati separo). Pembeli berikutnya baik-baik saja, tapi tiba-tiba istrinya nandang cintraka alias tertimpa musibah. Begitu seterusnya.
Alhasil, besi tunggangan tak berdosa itu dituduh menyusahkan siapa saja yang ingin memilikinya. Tapi kenapa? Dicari-carilah jawabannya. Katanya, ada ular besar yang melilit sepeda dari Amsterdam itu. Ular yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Barangkali itu hanya cara ngeles orang Indonesia ketika mereka tak kunjung menemukan jawaban memuaskan atas rentetan peristiwa di depan mata. Hanya karena A terjadi setelah B, tidak berarti A menyebabkan B, bukan?
Kabarnya, setelah berpindah tangan berkali-kali, sepeda itu kini menjadi koleksi seorang pensiunan guru yang tampak enjoy saja mengayuhnya.
Harga sepeda berlambang kepala kereta uap itu jelas jutaan rupiah—meskipun jangan pula dibandingkan dengan harga sepeda Brompton yang dibuat di London, yang ikut tersohor setelah menjadi barang bukti di kasus-kasus korupsi. Harga sebiji lampu sepeda Locomotief ini sudah cukup untuk membawa pulang sepeda Polygon butut yang kerap saya ajak keliling desa tetangga—ditambah sebuah kipas angin 12 inci buatan Cina. Tak heran bila dahulu, terutama di masa kolonial hingga awal Kemerdekaan RI, sepeda Eropa menjadi simbol gengsi dan status. Hanya orang beruang, pengusaha, manajer pabrik, dan para sinder alias mandor tebu yang memilikinya.
Baca juga: Hikayat Sepeda dan Jenis Kelaminnya
Bahkan, pemerintah yang kelimpungan mengumpulkan pendapatan negara pernah menganggapnya sebagai barang yang layak dipajaki, setali tiga uang dengan becak, pesawat radio, dan pesawat televisi. Tentu saja pajak ini tidak harus dengan vulgar disebut pajak. Ia dapat dikemas dengan nama iuran, sumbangan wajib, dan sebagainya.
Setidaknya hingga akhir tahun 1980-an, para Bupati di Jawa mewajibkan semua sepeda di wilayah mereka ditempeli peneng alias plombir. Peneng—lagi-lagi pinjam dari bahasa Belanda penning—adalah meterai dari lempengan timah yang ditempelkan pada rangka sepeda dan berfungsi sebagai bukti bahwa kendaraan itu sudah terdaftar sebagai objek pajak.
Belakangan, emblem timah ini diganti dengan yang lebih praktis dan murah—untuk tidak mengatakannya murahan—yakni stiker. Umumnya, peneng yang diwakili stiker ini hanya berlaku satu tahun, mirip STNK di zaman kiwari.
Denda diancamkan kepada yang kedapatan lalai membayar peneng. Kabar “operasi peneng” atau “razia peneng” akan membuat pemilik sepeda membatalkan niat bepergian, atau membuat mereka terbirit-birit mencari jalan alternatif. Tidak selalu besarnya pajak atau denda yang jadi soal, melainkan potensi rasa malu dan dongkol yang harus ditanggung bila terjaring. Sebagian pemilik sepeda enggan membeli peneng karena berpandangan pemerintahnya sedang cari gara-gara saja, menarik pajak recehan yang merepotkan diri sendiri. Lagi pula, sepeda, toh, tetap bisa dipakai kapan dan di mana saja, asalkan musim razia sudah lewat.
Setidaknya hingga akhir tahun 1980-an, para Bupati di Jawa mewajibkan semua sepeda di wilayah mereka ditempeli peneng alias plombir sebagai bukti bahwa kendaraan itu sudah terdaftar sebagai objek pajak.
Untuk menyalurkan rasa sebel kepada pemerintah dengan razia-razia penengnya itu, ada pemilik sepeda yang menempelkan peneng di rangka bawah, dekat pedal, menghadap ke tanah. Dengan penempatan peneng yang strategis begitu, “cegatan peneng” berhasil ia ubah dari operasi yang menjengkelkan menjadi peristiwa yang layak ditunggu.
“Mana penengnya?” tanya petugas.
“Ini!” jawab si pemilik sepeda, tidak kalah tegas.
Bersamaan dengan “Ini!”-nya itu, kedua tangannya mengangkat setang sepeda sekuat tenaga, sehingga roda depan sepedanya menjulang tinggi, lebih tinggi ketimbang kaki depan si kuda hitam Kyai Gentayu di lukisan “Diponegoro Memimpin Perang” karya Basoeki Abdullah.
Lalu, dengan muka masam, petugas itu mencondongkan badannya, bertekuk lutut memeriksa peneng, di bawah pengawasan dan senyum nakal si empunya sepeda.
Balas
View Comments