Spider-Man Berselawat

Bila engkau viral nanti....

Foto: Ilustrasi

Jelajahin.com – Muazin belum selesai dengan ujung kalimat tahlil di akhir azan, tapi mikrofonnya sudah dijambret bocah lima tahunan. Memakai setelan biru-merah Spider-Man dengan celana panjang yang cingkrang, pahlawan super ini menyemburkan bait berikut ini dari sela-sela gigi geripisnya: Allahul Kaafi rabbunal kaafi/Qashadnal kaafi wajadnal kaafi/Likulli kaafi kafaanal kaafi/Wa ni’mal kaafii alhamdulillah.

Begitu terus berulang-ulang, yang kalau tidak disetop muazin yang dongkol, bisa berlangsung sejak zuhur hingga asar.

Kadang, Spider-Man mini itu ditemani tiga-empat jagoan lain, bergiliran memonopoli mikrofon untuk memperdengarkan “Paris Barantai” versi Ning Umi Laila. Sementara sang muazin tak berdaya untuk melerai karena sedang salat sunah qabliyah zuhur.

Hanya saja, “Paris Barantai” versi Ning Umi Laila yang ditiru Spider-Man itu sama sekali tidak menyebut “Paris Barantai” apalagi mencantumkan nama pengarangnya. Diunggah oleh kanal Mas Owdy pada 12 Desember 2023, tayangan YouTube bertajuk “NING UMI LAILA – WALI SONGO – PONPES HANACARAKA WONOGIRI” ini per tanggal 26 Juli 2024 sudah ditonton lebih dari 30 juta kali. Di deskripsi unggahan diterangkan: “Artist: Ning Umi Laila, Songwriter: Gus Ahans Mahabie (Ponpes Hanacaraka Wonogiri)”.

Yang dilakukan songwriter dalam unggahan itu adalah mengganti lirik lagu “Paris Barantai” sebagai berikut.

Bait pertama

Kotabaru gunungnya bamega

Bamega, umbak manampur di sala karang

Umbak manampur di sala karang

diubah menjadi

Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim
Sunan Ampel Raden Rahmat
Sunan Giri Muhammad Ainul Yaqin

Begitu seterusnya. Memasuki bait keempat, barulah perincian nama sembilan wali ini diganti dengan lirik selawat:

Ya Rasulallah salamun ‘alaik
Ya rafiassyani waddaroji atfatayyajii rotal ‘alaamii
Ya uhailaljuudi walkaromii… walkaromii…

Rupanya, setelah terpapar video itu di HP emak dan teman mereka, jemaah Spider-Man itu segera keranjingan melodi “Paris Barantai” yang memang punya potensi terngiang terus (looping) di kepala. (Dalam istilah musik, gejala ini dikenal sebagai earworm). Bocah-bocah yang terkena sindrom lagu “mbulet” ini, yang terus berputar dan ogah minggat dari kepala, semakin punya alasan untuk datang ke musala (kecuali pas subuh), bukan melulu karena ingin salat, melainkan karena ingin demo vokal di Toa.

Bersama popularitas  yang besar tersemat pula tanggung jawab yang besar.

Di musala dan masjid di Jawa Timur dan Jawa Tengah, tarhim dan puji-pujian masih kerap dipasangkan. Tarhim dikumandangkan menjelang azan (baca: “Suara Hussary di Subuh Hari”), biasanya dengan memutar rekaman yang dibawakan oleh Syekh Hussary atau qari dalam negeri, karena untuk melantunkannya secara live, diperlukan kemampuan qira’ah yang rada mumpuni.

Sedangkan puji-pujian, biasanya berupa selawat yang dilantunkan, mengisi jeda antara azan dan iqamah, sekaligus sebagai tanda bahwa musala sedang menunggu kehadiran jemaah. Bila tarhim tidak mengalami perubahan lirik maupun lagu, puji-pujian ternyata ikut tren. Di era sosial media, tergantung apa saja yang viral, yang kira-kira bisa dipakai sebagai puji-pujian.

Dulu, ada tembang “Tamba Ati” yang telah meresap sebagai puji-pujian menjelang salat, jauh sebelum Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng memodifikasinya ke dalam album Kado Muhammad, tahun 1998. Opick mencapai ketenaran lewat tembang gubahan Sunan Bonang (1465–1525) ini setelah menyadurnya ke dalam bahasa Indonesia di album Istigfar (2005).

Dari sudut pandang musala, kita melihat adanya aliran musikal yang bergerak keluar, dari ranah puji-pujian, ke ruang yang lebih cair, yakni ke lapak industri musik. “Salawat Badar”, karangan KH Ali Manshur telah populer menjadi puji-pujian di musala (dikarang pada awal 1960-an), sebelum diseberangkan ke industri musik oleh Nasida Ria lewat album Sholawat Nabi, 1981. Kalau mau contoh yang keterlaluan, ada selawat “Ya Thoybah”—pernah dibawakan Sulis dan Haddad Alwi di album Cinta Rasul Vol 1 (1999)—diturunkan “maqamnya” menjadi lagu dangdut “Bang Toyib”.

Di musala tempat Spider-Man mini tadi berebut mikrofon, arus musikal juga datang dari luar. “Kasmaran”, tembang sendu berbahasa Jawa karangan Is Haryanto, yang pernah dipopulerkan antara lain oleh Waldjinah, dan belakangan oleh Didi Kempot, diubah liriknya menjadi selawat “Ya Nabi Salam”, dilantunkan oleh Haddad Alwi dan Sulis. Album Sulis Ya Allah (2007) mencantumkan Is Harianto [sic] sebagai penciptanya.

Versi asli (Is Haryanto):

Yen arep crita karo sapa

Yen ora crita, kok tambah nelangsa

Oh saya suwe kok ngene rasane

Saben dina ketok-ketoken wae

 

Versi selawat (Sulis, Haddad Alwi):

Ya nabi salam ‘alaika

Ya rasul salam ‘alaika

Ya habib salam ‘alaika

Shalawatullah ‘alaika

Belakangan Sulis bahkan memakaikan lirik selawat “Ya Nabi Salam” ke lagu “Engkau Laksana Bulan” karya Tan Sri P. Ramlee. (Setelah dibawakan sendiri oleh pengarangnya dalam film Penarek Becha (1955), lagu Melayu ini rupanya memikat banyak biduan untuk merekam versi masing-masing. Mulai dari Muchsin Alatas; Hamdan ATT; Imam S. Arifin; Rama Aiphama; hingga Sheila Madjid di album Legenda XVXX, tahun 1990.)

Nah, sekarang kita rangkai kembali “Paris Barantai” ke risalah ini. Alkisah, seniman Banjarmasin H. Anang Ardiansyah, yang kerap menonton pertunjukan tari gandut (tarian Banjar yang dibawakan secara berpasang-pasangan) terpesona melihat Su Paris, penari yang cantik. Kekaguman ini terekspresi menjadi lagu dan lirik “Paris Barantai”, yang lantas direkam pada piringan hitam di Lokananta, Solo, tahun 1959.

Lagu yang sudah dianggap sebagai lagu kebanggaan Kalimantan Selatan ini juga pernah dimainkan oleh grup musik rock Radja, (album Journey to Banjar, 2010). Bahkan, 28 tahun sebelumnya, A Rafiq pernah merekamnya (album Hafne, 1982) dalam irama dangdut, tentu saja.

Lagu Banjar ini populer di dunia maya setelah pada tanggal 17 Agustus 2021, diunggah sebagai bagian dari video bertajuk “‘Wonderland Indonesia’ by Alffy Rev ft. Novia Bachmid (Chapter 1)” di kanal Alffy Rev. Memasuki menit kedua, video ini mencuplik dua bait pertama “Paris Barantai”. Alffy mencantumkan H. Anang Ardiansyah sebagai penciptanya.

Terinspirasi atau tidak oleh video Alffy, pada 12 Desember 2023, diunggahlah video yang diimitasi Spider-Man di atas. Karena viral (sekali lagi, ditonton lebih dari 3o juta kali per tanggal 26 Juli 2024), media daring yang malas riset langsung mengulasnya dan mencantumkan lagu itu sebagai karya Gus Ahans Mahabie seorang. Padahal, penulis lagu (komposer) berbeda dengan penulis lirik (lirikus), walaupun dua pekerjaan ini dapat dirangkap oleh satu orang. Contoh, lagu “Ketika Tangan dan Kaki Berkata” ditulis oleh Chrisye, tapi liriknya dikarang oleh penyair Taufiq Ismail, sama seperti kebanyakan lagu-lagu rohani Bimbo.

Dalam video itu, memang ada rujukan ke Kalimantan Selatan, setidaknya dari tampilnya logo “Banjari Hero”, studio yang merekamnya. Meskipun Banjar juga banyak di Jawa—Banjarnegara, Banjarsari, Banjardawa, Banjarejo, Banjarbangi, Banjaratma, dan seterusnya. Namun, alangkah lebih keren, seandainya unggahan itu mencantumkan H. Anang Ardiansyah sebagai penulis lagu (komposer) dan yang sebelumnya dilabeli sebagai si songwriter diubah menjadi si penulis lirik.

Stan Lee (1922–2018), pencipta tokoh Spider-Man, menitipkan pesan “with great power comes great responsibility”. Terjemahkanlah menjadibersama popularitas (“keviralan”) yang besar tersemat pula tanggung jawab yang besar’.

Tulisan ini amatlah jauh dari tendensi hukum dan implikasinya. Biarlah itu jadi urusan orang pintar. Anggap saja aspek ini beres di belakang layar, atau sudah diurus YouTube sebagai pelantar digital.

Paling banter, catatan ini hanya menyayangkan hilangnya sebuah informasi kebudayaan kita. Sebab, kalau kehilangan ini dibiarkan, kawanan Spider-Man gadungan tadi akan menjadi generasi yang kian rabun membaca asal-usul fenomena yang terjadi di depan hidung mereka.

Agus Budiman
Agus Budiman menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di beberapa majalah nasional, dan pemimpin redaksi majalah perpajakan kenamaan di Indonesia. Feature, esai, opini, dan cerita pendeknya dipublikasikan antara lain di majalah Annida, majalah Ummi, harian Kompas, dan harian The Jakarta Post. Di luar itu, ia bekerja sebagai editor lepas buku fiksi dan nonfiksi dan sebagai penerjemah buku dan laporan tahunan. Salah satu bukunya, Pajak itu Gampang, Loh (2016) dipilih Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, untuk bahan edukasi perpajakan bagi siswa dan mahasiswa. Kini ia menetap di kampung halamannya, Pekalongan.