“Harto, jane aku iki arep kok apakake? Aku ini pemimpinmu,” tanya Presiden Sukarno di tengah kegamangan Jakarta pasca peristiwa Gestapu alias Gerakan September Tiga Puluh atau G30S, yakni operasi pembunuhan para jenderal angkatan darat, pada dini hari 1 Oktober 1965.
“Bapak Presiden,” jawab Soeharto, “saya ini anak petani miskin. Tetapi ayah saya setiap kali mengingatkan saya untuk selalu menghormati orangtua. Saya selalu diingatkannya agar dapat mikul dhuwur mendhem jero terhadap orangtua.”
“Bagus,” jawab Presiden Sukarno.
Dialog di atas saya cuplik dari buku Soeharto: Pikiran Ucapan, dan Tindakan Saya (1989: 165). Dan untuk menjelaskan arti bebasan Jawa di atas, baiklah kita pinjam saja definisinya dari orang yang mengucapkannya:
Mikul dhuwur, artinya kita harus menghormati orang tua dan menjunjung tinggi nama baik orang tua. Mendhem jero, artinya segala kekurangan orang tua itu tidak perlu ditonjol-tonjolkan. Apa lagi ditiru! Kekurangan itu harus kita kubur sedalam-dalamnya, supaya tidak kelihatan. Dalam pada itu, nama baik orang tua harus kita junjung setinggi-tingginya sehingga terpandang keharumannya.
Tulisan ini tak hendak melihat bagaimana Soeharto mempraktikkan apa yang diucapkannya kepada sang Proklamator, melainkan… begini ceritanya.
Ke mana gerangan mikul dhuwur mendhem jero? Jangan-jangan, ia mengumpet di balik ngundhuh wohing pakarti.
Dulu ia adalah Dursasana. Anak orang paling kaya di kampung, mandor tebu—saat orang lain belum mampu beli sepeda, dia sudah nangkring di motor Yamaha L2G, menghajar jalan kampung yang berlumpur dan berbatu. Suka cengengesan, dan bicaranya keras seperti membentak menghadapi siapa saja. Tapi, di dalam rumah, ia anak yang aleman. Tak becus bekerja, tapi maunya makan yang enak-enak. Dan watak itu terbawa hingga tubuhnya tak berdaya dan giginya tinggal tiga. Yang tidak turut bersamanya hingga tua adalah harta orangtuanya—karena lebih dahulu lenyap untuk membayar utang dan segala akibat ulahnya di masa muda.
Saat tiba-tiba ia muncul malam itu, kami hampir tak mengenalinya. Setahun sebelum menghilang karena sakit kepayahan, ia masih sang Dursasana meski dalam versi yang menua. Menenteng jeriken berisi solar, mengendarai traktor supaya baik jalannya, membajak sawah, dikerubungi puluhan kuntul putih.
Ia kerap singgah, menengok apa yang terhidang di meja, dan hanya akan memotel pisang yang masak.
Kini, suaranya hanya bisa kau dengar bila kau dekatkan kuping ke bibirnya. Matanya yang tajam jadi kuyu. Tubuh yang tegak-padat jadi tipis terhuyung. Pipinya kempot. Dingin udara malam di musim pancaroba menciutkan bahunya. Istrinya yang sekarang sudah sama tua, sudah bosan kepadanya, dan sudah mengusirnya. Keempat anaknya jauh di luar kota.
“Mas, punya kupluk putih? Aku kedinginan,” katanya. Kepalanya pelontos, menyisakan cuatan-cuatan uban yang jarang.
Betapa dalam keadaan menggigil saja, ia masih memikirkan warna. Ia tak mau kupluk sembarang warna. Ia ingin yang putih. Belakangan kudengar, bila terbit seleranya untuk menyantap nasi goreng, ia akan meminta orang membelikannya nasi goreng di kota kecamatan, enam kilometer dari kampung. Nasi goreng masakan pedagang desa tak cocok di lidahnya yang sudah telanjur jadi lidah anak orang kaya.
Karena hanya punya kupluk hitam, kuberikan padanya kupluk hitam. Esok lusa, dia sudah tak memakainya lagi. Mungkin kupluk itu dibuangnya, atau tertinggal entah di mana.
Lain Dursasana, lain Widura. Sejak kaki kanannya pincang digerogoti luka diabetes, ia yang sebatang kara di rumah dan mencari makan dengan menunggu order bos konfeksi, makin berat mengurus badan. Ada lauk yang harus ia rebus dengan penanak nasi. Ada obat antihipertensi dan pengendali kadar gula yang harus ia beli. Sesekali tetangga, teman lama, atau tukang sayur, singgah meninggalkan uang. Kadang Pak RT meminta fotokopi KK dan KTP-nya, untuk mengurus bantuan. Ia berbelanja dengan mengutus anak tetangga. Semua orang berbuat baik kepadanya sebisa mereka. Namun, ia dirundung sesal dan tanya, kenapa yang datang bukan putra atau putri kandungnya, yang hanya berjarak puluhan meter dari mesin jahitnya.
Ke mana gerangan mikul dhuwur mendhem jero? Jangan-jangan, ia mengumpet di balik ngundhuh wohing pakarti. Orang yang enggan menolong, atau anak yang ogah berbakti kepada orangtua, berlindung di balik paribasan ini. Bahwa tiap orang sekadar memetik hasil perbuatannya. “Salah sendiri dulu kau berlaku buruk kepadaku. Kini rasakan saja balasan dari Tuhanmu.”
Kita tidak tahu kapan mikul dhuwur mendhem jero ini mulai tertanam di alam Jawa. Yang jelas, cerita wayang yang sarat filsafat itu gencar menanamkan nilai ini. Para kesatria menunjukkan hormat dan pengabdian maksimal kepada orangtua atau leluhur mereka. Ketika Islam datang ke tanah Jawa, sikap orang Jawa yang demikian itu mendapatkan legitimasi lebih. Islam mewajibkan anak menyantuni orangtua, berkata halus kepada mereka, mengeluarkan harta untuk mereka, mendoakan mereka, berbuat baik pada mereka sekalipun mereka tidak seiman.
Itu adalah perintah yang berat (Kalau tidak berat buat apa diperintahkan?). Alangkah ringannya berbuat baik kepada orangtua yang lurus-lurus saja, yang menyuapimu sejak engkau bayi bahkan hingga engkau dewasa, yang mendidikmu, menyekolahkanmu, membantumu mencapai hajatmu. Coba kau berbakti kepada orangtua yang terus mem-bully-mu, menolakmu, meremehkanmu, menelantarkanmu.
Buat orang yang tidak percaya akhirat atau konsep pahala, tentu amat berat untuk bersabar, berlaku lembut, dan setia merawat ayah atau bunda yang telah tak berdaya tapi cerewet, pesing dan sakit-sakitan, gampang naik pitam, sinis dan bermulut tajam.
Mungkin karena itulah di negara di mana agama tidak dipegang, atau di mana ajaran birrul walidain atau mikul dhuwur mendhem jero tidak diselenggarakan, dengan mudah si anak akan menjebloskan orangtua ke panti atau menelantarkan mereka begitu saja.
Mereka akan terpana mendapati orang Indonesia pada umumnya memuliakan orangtua. Sekian tahun lalu, saat saya masih bekerja untuk mendiang majalah Berita Pajak, Chaïm Fetter, pendiri Yayasan Peduli Anak di Lombok, berkisah bahwa salah satu alasannya bersyahadat—ia lahir dan dewasa di lingkungan tanpa agama di Belanda—adalah karena dia terpesona menyaksikan kaum Muslim begitu memuliakan posisi orangtua.
Andai saat itu yang ia lihat adalah Dursasana dan Widura—tentu saja keduanya nama samaran—entah apa jadinya. Mungkin pria ganteng dan dermawan dari Negeri Kincir Angin ini juga tak akan repot-repot menambahkan Abdul Hayat sebagai aliasnya.
Balas
View Comments