Jelajahin.com – “Dan Kami tinggikan namamu bagimu,” kata Allah dalam Surah ke-94, Al-Insyirah.
Nama Muhammad disebut dalam satu napas dengan nama Tuhan. Namanya disebut bersama-sama dengan nama Allah di dalam azan, iqamah, tasyahhud (tahiyat), khotbah, selawat, aneka syair, nyanyian, dan puisi puji-pujian gubahan ulama, pujangga, dan para perindunya.
Dan tentu juga ke dalam buku. Salah satu buku yang paling terkenal, dan memancing kritik dan perdebatan, adalah buku yang disusun oleh Michael H. Hart The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History yang terbit pertama kali tahun 1978. Kelak buku ini diterjemahkan si jenaka Mahbub Djunaidi menjadi 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, diterbitkan Pustaka Jaya, tahun 1982.
Bagaimana tidak dihujani komentar—dan bukunya jadi kesohor dan laku keras. Hart yang orang Yahudi ini, menempatkan Muhammad di peringkat pertama di antara tokoh-tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah. Padahal, Islam, agama yang dibawa Sang Nabi, bukanlah agama dengan jumlah penganut terbanyak di dunia.
Hart berkeras bahwa Muhammad “teramat sukses” baik dalam soal agama maupun dalam urusan sekuler, dan secara unik paling berjasa dalam meletakkan fondasi Islam dan ekspansi awal yang menyatukan Semenanjung Arab plus berdirinya kekhalifahan yang lebih luas setelah kematiannya. Ini, menurut Hart, berbeda dengan perkembangan agama Kristen (agama mayoritas dunia) yang perkembangannya terbagi antara peran Yesus sebagai pembawa doktrin awal dan “jasa” Santo Paulus, sang perumus dan pendakwah kekristenan. Tokoh (keagamaan) lainnya memang berposisi tinggi dalam sejarah, tapi peran mereka sebatas ranah agama saja, sebutlah Musa, Buddha Gautama, dan Konfusius.
Hart berkeras bahwa Muhammad “teramat sukses” baik dalam soal agama maupun dalam urusan sekuler.
Tahun 2015, dunia mencatat bahwa 84 persen dari 7,3 miliar penduduk bumi adalah pemeluk agama. Mayoritas mereka menyebut diri sebagai pemeluk agama Nasrani/Kristen (2,3 miliar orang atau 31,2 persen), diikuti Islam (1,8 miliar, atau 24,1 persen), Hindu (1,1 miliar, atau 15,1 persen), dan Buddha (500 juta, atau 6,9 persen). Sisanya (400 jutaan, atau 6 persen) terdiri atas penduduk bumi yang mempraktikkan agama-agama tradisional di luar agama yang disebutkan di muka. Artinya, “hanya” 16 persen penghuni bumi, menurut potret tahun 2015, yang mengaku tidak beragama.
Islam, disebut sebagai agama dengan pertumbuhan terpesat—dua kali lebih cepat ketimbang pertumbuhan populasi global. Antara tahun 2015 dan 2060, populasi dunia diperkirakan meningkat sebesar 32 persen, tapi populasi Muslim diperkirakan akan tumbuh sebesar 70 persen. Dan meskipun umat Nasrani juga akan tumbuh melebihi pertumbuhan populasi bumi pada periode ini, yakni 34 persen, terutama berkat pertumbuhan populasi di Afrika, agama Kristen kemungkinan akan kehilangan posisi teratasnya—digantikan oleh Islam, pada pertengahan abad ini. Demikian laporan harian The Guardian.
Termutakhir, setidaknya berdasarkan survei di Amerika Serikat, kita dapati perkembangan yang berbeda. Tahun 1972, jumlah orang yang ogah beragama di AS hanya 5 persen, lalu meningkat menjadi 16 persen di tahun 2007, lantas mencapai 30 persen di tahun 2022, sebelum turun sedikit menjadi 28 persen di tahun 2023.
Menurut Jörg Stolz, sosiolog Swiss, jumlah pemeluk agama kian terkikis karena masyarakat telah kian mandiri. Orang tidak suka diberitahu dan disuruh-suruh mesti begini dan kudu begitu, apalagi oleh tokoh agama yang belum tentu berwawasan dan bermutu.
Namun tren keberagamaan yang demikian itu tampaknya tak mengubah popularitas Muhammad. Menggarami peninggian nama Muhammad dalam berbagai ungkapan keagamaan Islam dan ekspresi cinta para ulama-pujangga dalam jutaan larik lirik dan kasidah, Muhammad menjadi pilihan favorit orangtua untuk menamai putra mereka.
Orang tidak suka diberitahu dan disuruh-suruh mesti begini dan kudu begitu, apalagi oleh tokoh agama yang belum tentu berwawasan dan bermutu.
Forebears sebuah lembaga yang menyediakan direktori untuk riset (pelacakan) asal-usul lelulur, mencantumkan Maria (61,1 juta) sebagai nama depan yang paling banyak dipilih orang untuk putri mereka, dan Muhammad untuk putra mereka. Nama Muhammad, bahkan berlipat kali lebih besar bila variasi ejaannya digabungkan menjadi satu: Mohammed (45,6 juta), Muhammad (26,4 juta), Mohamed (24,5 juta), Mohammad (16,7 juta), Ahmed (14,9 juta), Mehmet (2,6 juta). Yang terakhir itu adalah Muhammad dalam bahasa Turki. (Ingat Mehmet Öz, dokter bedah jantung keturunan Turki, pembawa acara The Dr. Oz Show yang terkenal di AS.)
Luhurnya nama Muhammad bukan karena ia dipuja malaikat, manusia dan seisi alam, melainkan terutama karena Allah mengangkatnya. Dan kepada siapa pun yang Allah tinggikan, tak seorang pun dapat merendahkannya. Kita tahu Muhammad dihina dan dicaci, dengan berbagai cara dan media, termasuk lewat buku-buku yang juga best-sellers. Tapi, kan, memang begitu “nasib” setiap nabi dan pembawa kebenaran.
Cemerlangnya nama Muhammad di abad ini, juga bukan karena buku Michael H. Hart tadi. Berbeda dari nabi-nabi sebelumnya, Muhammad diutus ke kancah sejarah secara terang benderang. Hampir semua tentang Nabi diketahui dan dicatat—tempat kelahirannya (siapa yang tahu tanggal lahir Ibrahim, Yusuf, Musa, Sulaiman, Yesus?), tempat tinggalnya, tempat kematian, makamnya, silsilahnya, keturunannya, sahabatnya, musuhnya, makanannya, pakaiannya, hingga ciri fisik, perkataan dan tingkah lakunya.
Bandingkan dengan kita sekarang, seribu lima ratus tahun setelahnya, yang kerap gagap melacak tanggal lahir dan sejarah hidup diri sendiri.
Balas
View Comments