Jelajahin.com, Jakarta – Beberapa waktu lalu, masyarakat Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur (Jatim) telah melaksanakan ritual adat turun menurun yaitu Tumpeng Sewu. Ritual Tumpeng Sewu sendiri adalah salah satu tradisi budaya Osing dan Desa Kemiren merupakan sebuah desa wisata yang merupakan perkampungan asli dari suku Osing.
Setiap tahunnya dilaksanakan tradisi Tumpeng Sewu, dimana gelaran tersebut bukan hanya sebuah ritual adat semata, namun juga sudah menjadi atraksi wisata Banyuwangi yang dihadiri oleh ribuan warga dari berbagai penjuru desa maupun wisatawan mancanegara. Biasanya, gelaran Tumpeng Sewu digelar seminggu sebelum Idul Adha atau pada tanggal 1 Dzulhijjah.
Makan bersama
Sejak pukul 18.00 jalan menuju Desa Adat Kemiren telah ditutup untuk mempersiapkan acara tersebut. Semua warga yang ingin menuju desa ini harus berjalan kaki demi menghormati ritual adat ini dan prosesi Tumpeng Sewu dilakukan setelah salat Magrib.
Di bawah temaram api obor, semua orang duduk dengan tertib bersila di atas tikar maupun karpet yang tergelar di depan rumah. Di hadapannya tersedia tumpeng yang ditutup daun pisang. Dilengkapi lauk khas warga Kemiren yaitu pecel pithik dan sayur lalapan sebagai pelengkapnya.
Ritual Tumpeng Sewu sendiri adalah salah satu tradisi budaya Osing dan Desa Kemiren merupakan sebuah desa wisata yang merupakan perkampungan asli dari suku Osing.
Hidangan pecel pithik merupakan makanan berbahan utama ayam kampung yang masih muda. Uniknya, cara membuat hidangan tersebut pun memerlukan beberapa hal khusus. Seperti ayam yang telah disembelih lalu dibersihkan dan dipanggang utuh di perapian. Cara memanggangnya juga harus menggunakan cara tradisional. Sehingga, api yang dibuat untuk membakar harus dijaga agar daging tidak gosong dan matang dengan merata. Sesuai dengan tradisi yang sudah berlangsung di Suku Osing, orang yang memasak tidak boleh banyak berbicara bahkan cenderung diam dan berdoa.
Pecel pithik bagi Suku Osing merupakan akronim dari “diucel-ucel hang perkara apik” yang memiliki arti dilumuri dengan berbagai perkara yang baik. Selain itu, penyajian pecel pithik tersebut dominasi oleh parutan kelapa.
Sebelum menyantap hidangan yang ada, warga atau masyarakat sekitar akan di ajak berdoa agar desanya dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual Tumpeng Sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala.
Baca Juga: Menangkap Keindahan di Hutan De Djawatan
Umumnya, setiap rumah warga akan mengeluarkan minimal satu tumpeng yang diletakkan di depan rumahnya. Karena banyaknya tumpeng yang dihadirkan maka dari sinilah asal muasal nama festival tumpeng sewu yang berarti seribu tumpeng.
Usai kumandang doa yang yang dibacakan sesepuh dari masjid di desa setempat, masyarakat mulai makan tumpeng bersama. Suasana guyub dan kebersamaan pun kian terasa. Meski tak jarang di sekelompok orang yang duduk bersama itu baru saja saling mengenal.
Ikuti juga info kuliner dan wisata Jelajahin.com di TikTok.
Balas
View Comments