Jelajahin.com, Jakarta – Destinasi wisata sekaligus tempat untuk belajar sejarah adalah museum. Salah satu museum yang tidak jauh dari Jakarta dan mudah ditempuh adalah Museum Multatuli. Multatuli atau Eduard Douwes Dekker sendiri adalah seorang mantan pegawai pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang kemudian beralih profesi menjadi penulis. Lewat karyanya yang berjudul Max Havelaar, Multatuli menggambarkan penderitaan rakyat Lebak Banten akibat penjajahan Belanda.
Bahkan, berkat kritikan dalam karyanya tersebut, sistem tanam paksa perlahan-lahan dihapuskan. Selain itu, ia juga dianggap sebagai salah satu penulis terhebat Belanda yang karyanya memelopori gaya tulisan baru. Atas dasar itulah kemudian Multatuli menjadi ikon dan bagian sejarah Lebak dan muncul ide pendirian Museum Multatuli.
Koleksi museum
Dibuka sejak 11 Februari 2018 silam, Museum Multatuli tercatat memiliki 277 koleksi dan terdapat 7 ruang. Ruang pertama yaitu ruangan yang berisi wajah Multatuli. Masuk ruang kedua, pengunjung akan disuguhkan berbagai barang pameran yang mengisahkan masa awal kedatangan para penjelajah Eropa ke Nusantara. Ruang ketiga mengisahkan periode tanam paksa yang memiliki fokus budidaya kopi.
Ruang keempat adalah ruang Multatuli dan pengaruhnya terhadap para tokoh pergerakan kemerdekaan. Ruang kelima, kisah pergerakan perlawanan rakyat Banten dan gerakan pembebasan bangsa dari penjajahan Belanda. Ruang keenam, Anda akan melihat berbagai barang yang berkaitan dengan rangkaian peristiwa penting di Lebak dan era purbakala. Ruang ketujuh berisi foto-foto orang yang pernah lahir, menetap, dan terinspirasi dari Lebak.
Koleksi lain yang dapat Anda jumpai adalah koleksi novel Max Havelaar edisi pertama berbahasa Prancis tahun 1876, koleksi novel Max Havelaar bahasa Inggris terbitan tahun 1860, litografi wajah Multatuli, karya-karya Multatuli dan tegel bekas rumah Multatuli, dan lainnya.
Museum Multatuli mengambil tema “museum antikolonialisme”. Bahkan, museum ini juga menampilkan sejarah kolonialisme sebagai pengantar sampai dengan pergerakan antikolonialisme yang diceritakan dari berbagai sisi sebagai inti dari museum ini. Harapannya museum akan menjadi medium pembelajaran sejarah tentang bagaimana kolonialisme bekerja dan bagaimana pula sistem itu diruntuhkan oleh gerakan nasionalisme.
Saat ini, bangunan Museum Multatuli berstatus sebagai cagar budaya yang sempat beberapa kali beralih fungsi. Ketika selesai dibangun pada 1930, bangunan tersebut digunakan sebagai kantor kawedanan. Lalu, pada 1950 dialihfungsikan sebagai kantor Markas Wilayah (Mawil) Hansip. Terakhir digunakan sebagai kantor BKD (Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Lebak. Bangunan ini kemudian dipugar pada 2016 untuk dijadikan Museum Multatuli hingga saat ini.
Secara keseluruhan, Museum Multatuli memiliki luas tanah 1934 m2 dengan fasilitas di dalamnya meliputi pendopo, ruang pameran museum, kantor, toilet, taman, dan tempat penyimpanan koleksi.
Untuk jam operasional, Museum Multatuli buka pada hari Selasa-Jumat pukul 08.00 hingga 16.00 WIB, Sabtu-Minggu pukul 09.00 hingga 15.00 WIB dan tutup pada hari Senin serta libur nasional. untuk tiket masuk museum terbilang cukup murah karena pengunjung akan dikenakan harga sebesar Rp 2.000 (umum), Rp 1.000 (pelajar), dan Rp 15.000 (wisatawan mancanegara).
Untuk sampai ke Museum Multatuli pun terbilang cukup mudah, bagi pengunjung yang datang dari arah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) dan Pelabuhan Merak bisa menaiki kereta ke Stasiun Rangkasbitung. Dari Stasiun Rangkasbitung, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Museum Multatuli menggunakan angkutan kota karena lokasinya tidak jauh dari Stasiun Rangkasbitung.
Balas
View Comments