Jelajahin.com – Sambil meniru judul buku, pria Indonesia umumnya dapat berkata, “Sunat adalah bagian paling penting dari hidup saya—setelah kelahiran, perkawinan (dan perceraian), dan kematian.”
Di Aceh Singkil, di Tanah Gayo (atau mungkin di Aceh pada umumnya), di Riau, dan di Sumatera Utara, ia disebut sunat rasul—lebih lengkap ketimbang sebutannya di Jawa. Di Jawa, ia disebut sunatan, tetakan, supitan, atau khitanan saja.
Sebelum disunat, si bocah disuruh berendam di sungai, diarak keliling kampung. Di Betawi arak-arakan ini akan melibatkan ondel-ondel. Malamnya ia didudukkan di pelaminan, berpakaian indah bak pengantin. Kalau yang disunat rajin mengaji, sunat rasul kadang disertai khataman Quran.
Di Jawa pun tidak jauh berbeda. Kungkum atau berendam dilakukan dengan merayu si bocah bahwa air kali akan melunakkan kulitnya, tidak kelot-kelot seperti sop sandal jepit. Gara-gara berendam, kadang si anak sudah nyengir sebelum disunat, lantaran tititnya dicapit udang yang penasaran.
Begitu pentingnya khitan atau sunat ini, sehingga Keraton Yogyakarta memiliki prosesi yang detail dan panjang untuk sebuah tindakan kecil terhadap kelopak kulit yang menutup ujung kemaluan laki-laki ini.
Sementara orangtua akan sedapat mungkin mengadakan acara tetakan dengan spektakuler, bila perlu dengan menggelar pertunjukan wayang kulit sehari semalam, atau mengundang grup ketoprak atau wayang orang. Kini, kebiasaan itu bergeser ke menanggap orkes dangdut dalam pelbagai tingkatannya—mulai kelas organ tunggal dengan dua-tiga biduan, orkes dangdut koplo dengan kru yang lebih lengkap, sampai sepasukan orkes melayu Soneta Grup asuhan Rhoma Irama.
Maklum, para orangtua perlu membesarkan hati dan menghibur si calon pengantin agar mantap menyambut prosesi yang telanjur diselimuti kisah horor dan olok-olok. Anekdot dan cerita konyol yang melingkupinya, terutama yang berasal dari era sunat pakai golok dan kapak, berpotensi membuat nyali bocah laki-laki mengkerut.
Sunat dianggap sebagai prosedur bedah terencana yang tertua di dunia, sudah dilakukan 15.000 tahun lalu. Itu artinya jauh (13.000 tahun) sebelum Nabi Ibrahim melakukannya.
Saat melihat anak kecil berlari tanpa celana, orang akan mengacungkan kepalan, “Awas, kusunat kau.” Namun, giliran si bocah takut sungguhan, padahal sudah usia sekolah menengah, orang akan membujuk, “Kalau belum sunat, belum boleh merokok, loh.” Meskipun ada pula nasihat ala orang alim, “Kalau enggak sunat, salatnya enggak sah, loh. Enggak boleh azan di musala, loh.”
Umumnya, sunat dilakukan saat usia anak 12 hingga 14 tahun. Khitan dipandang sebagai salah satu titik penting dalam siklus hidup manusia, tanda peralihan dari kanak-kanak ke tahap remaja atau dewasa. Malah, ia menjadi bukti keislaman seseorang. Sebab, dulu ada kebiasaan menyuruh si pengantin bersyahadat di depan dukun sunat.
Kebiasaan menyuruh syahadat sebelum tetakan ini konon membuat orang di Jawa—yang ingin sunat tapi tidak ingin masuk Islam—enggan meminta jasa dukun sunat. Sebab, mereka khawatir disuruh bersyahadat. Maka, mereka memilih disupit di rumah sakit, itu pun dengan judul “operasi kecil”.
Sunat dianggap sebagai prosedur bedah terencana yang tertua di dunia, sudah dilakukan 15.000 tahun lalu. Itu artinya jauh (13.000 tahun) sebelum Nabi Ibrahim melakukannya. Menurut sebuah riwayat, Nabi Ibrahim mendapat perintah khitan saat ia berusia 80 tahun lebih (beliau wafat di usia 175-an). Putranya, Nabi Ismail yang saat itu berusia 13 tahun, ikut dikhitan bersamanya. Begitu juga semua hamba sahaya dan kaum lelaki di rumah Nabi Ibrahim. Praktik inilah yang dilanjutkan dan diperintahkan Rasulullah Muhammad Saw, sehingga ia disebut sunat rasul.
![Gambar kuno yang menunjukkan sunat Jelajahincom](https://jelajahin.com/storage/2024/07/27657_empat-fakta-soal-sunat.jpg)
Bila umat Islam, umat Yahudi dan sebagian umat Nasrani melakukannya, tidak demikian dengan pemeluk agama India—Hindu dan Sikh, misalnya. Bagi mereka, sunat adalah aktivitas terlarang karena tubuh adalah ciptaan Tuhan yang tak seorang pun berhak mengubahnya—atau memotongnya.
Terakhir, jangan disangka urusan memangkas secuil kulup ini tidak punya dimensi politis. Sunat bahkan dapat mengintimidasi seorang gubernur jenderal di era penjajahan.
Buku Perangkat/Alat-Alat dan Pakaian Serta Makna Simbolis Upacara Keagamaan di Lingkungan Keraton Yogyakarta (1991: 44) menyelipkan kisah bahwa Abdul Hamid Herucokro alias Pangeran Diponegoro pernah berkirim pesan kepada seorang gubernur jenderal Belanda: “Orang yang tidak Islam akan saya Islamkan, orang yang tidak khitan akan saya sunat. Hanya itu pesanku.”
Itu adalah ancaman serius dari Sultan Abdul Hamid Kabirul Mukminin Sayyidin Paneteg Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah Jawa kepada seorang gubernur jenderal Belanda beserta segenap serdadunya, yang tentunya tak sudi disupit.
Tahun 2012, umat Islam dan umat Yahudi di Jerman pernah melayangkan protes keras setelah sebuah pengadilan negeri di negara itu memutuskan sunat nonmedis sebagai tindak pidana. Akhirnya, setelah protes itu, pemerintah Jerman merilis undang-undang yang membolehkan lagi khitan dengan alasan agama, asalkan dilakukan oleh petugas yang profesional dan dengan nyeri yang minimal.
Kini, upaya orangtua untuk membujuk putra mereka yang ragu-ragu merelakan kulupnya, terbantu oleh promosi dokter dan klinik sunat. Mau cara apa—konvensional, smart clamp, laser, atau stapler?
Spanduk yang tertempel di dinding sebuah klinik di kota kecamatan terbaca: “Sunat asyik, tanpa jarum suntik, tanpa perban, tanpa jahitan, bebas mandi bahkan renang…”
Hmm, tapi, seasyik-asyiknya sunat, kok, kayaknya belum ada yang pengin mengulanginya.
Balas
View Comments