Pada Malam Satu Sura

Pada malam itu, ada pergumulan antara Islam, Jawa, dan… Sundel Bolong.

Perayaan Malam Satu Sura/Foto: Istimewa

Jelajahin.com – Di daerah lain di Jawa dan Sumatra, ia lebih populer disebut malam Tahun Baru Islam atau malam 1 Muharram. Dua puluhan tahun lalu, istilah dan gelaran Festival Muharram sudah mulai gencar diperkenalkan di Jakarta, sebutlah di Masjid Istiqlal atau di TIM (Taman Ismail Marzuki).

Walakin di Jawa Tengah, setidaknya di sekitar saya, lidah orang lebih mudah mengucapkannya sebagai malam 1 Sura. Mungkin karena untuk mengucapkan malam 1 Muharram orang harus menyuruh lidahnya bekerja lebih keras. Tapi mungkin juga karena ada alasan budaya di baliknya.

Bila umat Islam pada umumnya menekankan nilai sejarah di balik ditetapkannya 1 Muharram sebagai tahun baru umat Islam oleh Amirul Mukminin ‘Umar Ibn Khattab, maka orang Jawa “melengkapinya” dengan nuansa sejarah Islam di tanah Jawa.

Sura terambil dari kata Arab ‘Asyuura ‘kesepuluh’, merujuk pada hari kesepuluh di bulan Muharram. Sepuluh Muharram dinilai sebagai tanggal istimewa, sebab pada hari itulah Nabi Adam diciptakan, Nabi Nuh diselamatkan, Nabi Idris diangkat ke surga, Nabi Ibrahim diselamatkan dari api, Nabi Yunus dimuntahkan dari perut ikan raksasa. Meskipun mesti dicatat juga, pada tanggal itulah (10 Muharram 61 H atau tanggal 10 Oktober 680) terjadi tragedi Karbala, yang menewaskan cucu Rasulullah, Husain bin Ali beserta 70-an pasukannya, menyisakan kaum perempuan dan putra beliau, Ali Zainal Abidin bin Husain.

Beberapa hari sebelum perayaan malam 1 Sura, para kepala dusun sudah mengumumkan kepada warganya kapan tibanya si malam. Bahkan, khatib salat Jumat kami di kampung, mengambilnya sebagai tema khotbah seraya menunjukkan apa yang sebaiknya dilakukan—membaca doa akhir tahun sebelum magrib, merapal permohonan awal tahun sesudah salat magrib, dan banyak-banyak baca Al-Quran bakda Isya.

Sultan Agung dari Mataram (Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi) mengeluarkan titah untuk mengganti penanggalan Saka yang—yang berbasis pada perputaran matahari—dengan sistem kalender qomariah. Namun, demi menjaga kesinambungan, angka tahun Saka itu tetap dipakai dan dilanjutkan.

Musala pada malam ini, biasanya akan lebih ramai ketimbang malam sebelum dan sesudahnya. Jemaah akan melakukan apa yang disarankan si khatib—khusyuk berdoa, sebelum menikmati keasyikan yang sedikit kacau saat anak-anak berebut nasi bungkus daun pisang dan ayam panggang.

Tahun ini, 1 Muharram 1446 Hijriah jatuh pada Ahad, 7 Juli 2024. Artinya, pergantian tahunnya akan terjadi pada Sabtu petang, 6 Juli 2024. Ingat, kalender Hijriah adalah kalender qomariah (qomar berarti ‘bulan’) atau kalender bulan alias kalender candra atawa kalender lunar, yakni penanggalan yang menyandarkan perhitungannya pada fase bulan. Fase bulan adalah bentuk bulan yang selalu berubah jika dilihat dari bumi—ia bisa mirip sabit, lalu cembung seperti siluet perut yang minta puasa, hingga benar-benar bundar saat purnama.

Perayaan 1 Sura di Keraton Yogyakarta/Foto: Istimewa

Bagi pemakai kalender qomariah, hari atau tanggal baru dimulai saat matahari terbenam. Panjang satu tahunnya berkisar 354 hingga 355 hari. Kalender Hijriah yang menjadi acuan umat Islam dan kalender Jawa—yang dipakai orang Jawa, tentu—adalah dua dari sedikit penanggalan yang murni mendasarkan diri pada fase bulan.

Sementara, sesuai namanya, kalender syamsiah (syams ‘matahari’) adalah penanggalan yang berdasar pada revolusi bumi mengelilingi matahari. Contohnya, ya, kalender Masehi yang tertempel di dinding atau terpasang telepon genggam kita. Satu tahun menurut kalender ini terdiri atas 365 hari (lebih panjang 9 hingga 10 hari ketimbang kalender bulan).

Syahdan, pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka atau 1043 H), sebagai salah satu upaya menanamkan agama Islam di Jawa, Sultan Agung dari Mataram (Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi) mengeluarkan titah untuk mengganti penanggalan Saka yang—yang berbasis pada perputaran matahari—dengan sistem kalender qomariah. Namun, demi menjaga kesinambungan, angka tahun Saka itu tetap dipakai dan dilanjutkan. Maka, kalender Jawa versi Sultan Agung ini dimulai sejak 1 Sura 1555 Saka, atau bertepatan dengan 1 Muharram 1043 Hijriah. Dengan begitu, tahun 2024 ini, 1 Muharram 1446 Hijriah bertepatan dengan 1 Sura 1958 Saka.

Keputusan Sultan Agung itu hanya berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram, yakni seluruh pulau Jawa dan Madura—kecuali Banten, Batavia (Jakarta) dan Blambangan (Banyuwangi), karena ketiganya tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung.

Entah bagaimana ceritanya, malam 1 Sura kemudian berselimutkan aneka mitos. Ia menjadi sakral di Jawa tanpa masyarakat benar-benar tahu penyebab kesakralannya. Yang jelas, Ensiklopedia Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (2017) menyebut bahwa 1 Sura adalah hari besar bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa berdasarkan hasil Musyawarah Nasional Kepercayaan I tanggal 30 Desember 1970.

Baca Juga: Mengenal Budaya Mangenta Khas Kalteng

Kesan sakral—atau lebih tepatnya kesan “angker”—malam 1 Sura ini telah lebih dulu menyergap saya jauh sebelum saya menelisik arti dan sejarahnya. Ini gara-gara iklan yang saya dengar di radio, yang mengulang-ulang kata “malam satu sura” dengan nada yang diseram-seramkan.

Syahdan, pada akhir 1980-an, dari radio transistor kami terdengar ketawa hi-hi-hi melengking disertai deru angin, lalu jeritan histeris, kemudian voice over pria bersuara tebal—jangan bayangkan suara lembut Maria Oentoe—membujuk pendengarnya: “Jangan sampai kehabisan tiket, saksikanlah… Suzzanna, si Sundel Bolong, dalam film… Malam Satu Suro, di bioskop-bioskop kesayangan di kota Anda.”

Hingga kini saya belum menonton film yang dirilis pada tahun 1988 itu. Dan setelah membaca sinopsisnya di laman Wikipedia, saya tidak jadi penasaran untuk menontonnya. Namun, jika harus ditarik juga manfaat dari film itu selain buat hiburan belaka, setidaknya ia telah memopulerkan malam 1 Sura dan membuat orang penasaran, lalu membaca.

Agus Budiman
Agus Budiman menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di beberapa majalah nasional, dan pemimpin redaksi majalah perpajakan kenamaan di Indonesia. Feature, esai, opini, dan cerita pendeknya dipublikasikan antara lain di majalah Annida, majalah Ummi, harian Kompas, dan harian The Jakarta Post. Di luar itu, ia bekerja sebagai editor lepas buku fiksi dan nonfiksi dan sebagai penerjemah buku dan laporan tahunan. Salah satu bukunya, Pajak itu Gampang, Loh (2016) dipilih Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, untuk bahan edukasi perpajakan bagi siswa dan mahasiswa. Kini ia menetap di kampung halamannya, Pekalongan.