Kalau Kentut Bisa Ngomong

Kalau mau angker laksana karya dahsyat anak kuliahan, risalah ini akan berjudul “Studi atas Takdir Gas yang Keluar dari Anus dalam Perspektif Kebudayaan Kontemporer Indonesia.”

Ilustrasi

Jelajahin.com – Kalau kentut bisa ngomong, dia akan protes kepada Doel Sumbang dan rembulan atas ketidakadilan yang diterimanya. Gara-gara seniman itu, suara kentut ditransformasi menjadi bulan, lalu menjadi lagu hit di akhir ’90-an, kemudian viral lagi di era media sosial—tanpa satu kata kentut pun terselip di syairnya.

Alkisah, untuk mencari inspirasi, Doel Sumbang mengajak teman-temannya reriungan di rumahnya di suatu gunung. Di sela hening-dingin malam, dan terjedanya obrolan, terdengarlah suara kentut. Semua saling pandang dan saling mendakwa. Karena tidak ada yang mengaku, salah seorang nyeletuk, “Kalau bulan bisa ngomong, pasti dia nunjuk lu tuh yang kentut.”

Ungkapan “kalau bulan bisa ngomong” ini mengusik naluri kesenimanan Doel. Ia menyingkir ke dalam rumah, menyambar gitar, kertas, dan pena. Dan hanya dalam tempo 20 menit, kompletlah notasi dan lirik “Kalau Bulan Bisa Ngomong”—menjadikannya lagu tercepat sekaligus terpopuler yang dikarang Doel. Lagu ini dinyanyikan sebagai duet dengan biduan Banyuwangi, Nini Carlina. Proses kreatif ini diungkap Doel Sumbang, dalam obrolannya dengan Dewa Budjana, dirilis pada 1 Juni 2024 di kanal YouTube gitaris band GIGI ini.

Kenapa harus bulan, kenapa bukan kentut yang masuk ke lagunya? Wahai kentut, memang agak susah membayangkanmu masuk ke dalam bait lagu pop, apalagi yang bertema percintaan. Sudah nasibmu, paling banter kamu akan masuk ke tembang humor atau kritik sosial.

“Rambut selalu kusut/disuruh/selalu manggut manggut//Duduk di sudut/eh kasihan itu tubuh/tinggal tulang/sama kentut.” Celoteh Iwan Fals di lagu “Generasi Frustasi” (1978), saat namanya masih Iwan Fales (alih-alih Iwan Fals seperti sekarang).

Enam tahun kemudian, kentut menyelonong lagi ke lagu Iwan. “Suara bising ribut yang keluar dari knalpotmu bagai kentut,” katanya di lagu “Barang Antik” (1984) tentang opelet tua yang diramalnya akan berharga selangit di tahun 2001.

Anak-anak kecil di kampung saya, dulu punya tradisi iseng ngempok, yakni dengan demonstratif meledakkan kentut di depan teman, lalu lari tunggang langgang. Ada kalanya korban hanya bersungut-sungut, tapi itu berarti si pengebom harus waspada akan datangnya balasan yang lebih berbobot (gas beserta ampas-ampasnya).

Di alam budaya tertentu, kentut mungkin tidak perlu disembunyikan, sebab ia hasil metabolisme alami belaka, tiada bedanya dengan menguap bila kantuk datang.

Dari khazanah perwayangan, lewat lakon carangan (lakon yang dikarang para dalang, di luar cerita baku Mahabharata dan Ramayana), anak-anak di Jawa diperkenalkan dengan Ajian Kentut Semar, yang akan membuat dewa sekalipun kocar-kacir dan segera kembali ke jalan yang benar.

Di tangan seorang ustaz, desis gas hidrogen sulfida (H2S) yang kerap dianggap hina dina ini bisa menjadi bahan ceramah tentang syukur nikmat atau kajian fikih tentang bersuci, batalnya wudu, buyarnya salat.

Baca Juga: Dawet Ayu Memboyong Semar

“Jemaah sekalian, tahu berapa rupiah yang harus sampeyan keluarkan di rumah sakit kalau sampeyan gagal kentut? Maka, bersyukurlah atas salah satu anugerah terindah yang pernah sampeyan miliki ini.”

Di lingkup tertentu, kentut boleh saja menjadi simbol keakraban: dua orang dianggap akrab hanya bila telah saling tukar kentut dengan penuh candra mesra. Di alam budaya tertentu, kentut mungkin tidak perlu disembunyikan, sebab ia hasil metabolisme alami belaka, tiada bedanya dengan menguap bila kantuk datang. Tapi, Anda memerlukan kecanggihan membaca situasi bila ingin selamat melakukannya di sini.

Suatu siang, saya dan dua jurnalis berwawancara dengan narasumber di lantai 55 salah satu gedung tertinggi di Jakarta (otomatis tertinggi juga di Indonesia). Begitu tingginya, sehingga dari jendela di ruang tunggu kantornya, kami dengan mudah melihat helipad di atap gedung-gedung lain, seperti lapangan tenis dengan huruf H putih di tengahnya.

Di sela-sela uraiannya, tokoh kita ini memiringkan tubuhnya ke kiri, lalu pantatnya keceplosan meloloskan bunyi “tuuut” yang tidak sampai terekam di voice recorder tapi sayup tertangkap telinga kami. Dia melanjutkan pembicaraannya seperti tidak terjadi apa-apa.

Keluar dari lift kantornya, bukan saripati wawancara sepanjang satu jam yang menempel di benak, melainkan detik-detik berlangsungnya siulan singkat itu. Bahkan, kelak ketika kami kaget mendengar ia ditahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), reaksi kami adalah,” Oh, yang kentut itu, ya? Apakah dia kentut juga waktu ditangkap?”

Cukup sekian kentut saya.

Agus Budiman
Agus Budiman menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di beberapa majalah nasional, dan pemimpin redaksi majalah perpajakan kenamaan di Indonesia. Feature, esai, opini, dan cerita pendeknya dipublikasikan antara lain di majalah Annida, majalah Ummi, harian Kompas, dan harian The Jakarta Post. Di luar itu, ia bekerja sebagai editor lepas buku fiksi dan nonfiksi dan sebagai penerjemah buku dan laporan tahunan. Salah satu bukunya, Pajak itu Gampang, Loh (2016) dipilih Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, untuk bahan edukasi perpajakan bagi siswa dan mahasiswa. Kini ia menetap di kampung halamannya, Pekalongan.