Dawet Ayu Memboyong Semar

Ada doa yang turut terangkut di gerobak pikul si kakang ngapak penjual dawet.

Ilustrasi Pedagang Dawet Ayu/Foto: Istimewa

Jelajahin.com – Di Jakarta, metropolitan yang sejak April 2024 lalu dilucuti status keibukotaannya, orang kerap mengasosiasikan sate dengan Madura; soto, dengan Betawi atau Lamongan; dan kerak telur, tak bisa tidak, ya, dengan Betawi—meski kebanyakan penjualnya bukanlah orang Betawi. Bagaimana kalau es cendol yang disebut? Umumnya orang akan langsung menunjuk gerobak pikul bertuliskan “Dawet Ayu Banjarnegara” yang lumayan merajalela di ibu kota—eh, di bekas ibu kota itu.

Dawet adalah nama yang lebih awal—setidaknya sudah ada sejak abad ke-1o Masehi di Jawa Timur—buat minuman kental berbahan dasar tepung beras ini. Cendol boleh dibilang semakna belaka dengan dawet. Namun, yang berhasil melekat ke suatu alamat geografis, ternyata dawet, dalam hal ini dawet ayu Banjarnegara.

Nah, frasa dawet ayu ini punya kisah tersendiri. Ada beberapa versi yang menjelaskan kenapa si cendol ini mesti memakai embel-embel demikian di gerobak milik Kang Karto, Kang Peyang, maupun Kang Penjol. Baiklah, kita simak satu versi saja.

Ahmad Tohari, sastrawan Banyumas yang menulis novel terkenal Ronggeng Dukuh Paruk (1982), menyebut bahwa kepopuleran sebutan dawet ayu ini bermula dari cerita berantai tentang penjual dawet berwajah cantik alias ayu. Klaim ini diperkuat pendapat tokoh lain dari Banyumas, Khatibul Umam Wiranu. Menurut Wiranu, sebutan dawet ayu bersumber dari Kelurahan Rejasa, Kecamatan Madukara, Banjarnegara, yakni lokasi Munardjo, yang beristrikan wanita cantik, berjualan dawet.

Munardjo berkeliling dari ke desa menjual dawet sejak 1938, saat ia masih berusia 15 tahun, sebelum akhirnya membuka warung dawetnya di tahun 1973. Munardjo meninggal di tahun 1991, sedangkan istri cantiknya, Marpungah, wafat di tahun 2022, dalam usia 94 tahun. Warungnya yang berjuluk Es Dawet Ayu Hj Munardjo, masih berdiri hingga sekarang, menjadi warung dawet legendaris di Banjarnegara.

Baca juga: Suara Hussary di Subuh Hari

Riwayat si dawet belum tandas sampai di sini. Perhatikan, di gerobak pikul penjual dawet itu ada pemanis berupa wayang Semar dan Garèng yang bertengger di dekat kedua ujung pikulan, tepat di atas kedua gentong. Lantas, apa yang dua personel punakawan (panakawan) ini lakukan di atas pikulan?

Bukan orang Jawa kalau tak suka simbol. Semar dan Garèng diajak si kang tukang dawet untuk melambangkan permohonan dan harapannya sebagai penjual dawet—sebetulnya, sih, ini doa penjual minuman dingin pada umumnya.

Ambil suku kata terakhir dari kata Semar dan Garèng lalu gabungkan, maka akan kita peroleh kata marèng. Marèng adalah kata yang dipakai petani Jawa untuk menamai masa peralihan (pancaroba) dari musim penghujan (rêndhêng) ke musim kemarau (ketiga). (Peralihan dari musim kemarau ke musim hujan disebut labuh.)

Penjaja dawet tahu, di masa marèng inilah biasanya para petani memanen hasil cocok tanam mereka, meraup berkah dari Sang Pemberi Rezeki, kemudian membelanjakan uang mereka di jalan berdawet.

Lagi pula, apa yang harus dikerjakan penjual dawet selain setia menunggu pelanggan, bermain HP, atau berkeliling seraya berdoa agar cuaca cerah-cerah saja, supaya hujan malas turun di tengah musim rêndhêng sekalipun, sehingga orang kegerahan, lalu mencari kesegaran di segelas dawet ayu?

Agus Budiman
Agus Budiman menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di beberapa majalah nasional, dan pemimpin redaksi majalah perpajakan kenamaan di Indonesia. Feature, esai, opini, dan cerita pendeknya dipublikasikan antara lain di majalah Annida, majalah Ummi, harian Kompas, dan harian The Jakarta Post. Di luar itu, ia bekerja sebagai editor lepas buku fiksi dan nonfiksi dan sebagai penerjemah buku dan laporan tahunan. Salah satu bukunya, Pajak itu Gampang, Loh (2016) dipilih Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, untuk bahan edukasi perpajakan bagi siswa dan mahasiswa. Kini ia menetap di kampung halamannya, Pekalongan.